Happy reading_
•••
Bintang tidak akan pernah redup hanya karena awan hitam, dia akan terus bersinar untuk menghidupi langit malam.
-Aegir Bhairavi•••
"Kenapa Kak Tirta?" tanya Aegir mendongak, melihat wajah Jovan yang seakan linglung membuat tidak hanya Aegir, tapi juga Alayya, Nuha, dan Valdrin penasaran. "Penyakitnya kambuh."Mereka terdiam, terutama Nuha dan Valdrin. Pantas saja tadi Tirta tidak memarahi mereka saat tahu merekalah yang mengajak Alayya nonton balap liar.
"Terus sekarang di mana?"
Jovan menelan salivanya, "Di rumah, tadi sempat dibawa ke rumah sakit sebentar."
"Ckckckc, gini nih kak Tirta selalu menyembunyikan semuanya," dumel Aegir sedikit tidak terima.
Tirta pernah berkata berbagilah luka bersamanya, tapi dia sendiri tidak membagi lukanya.
"Dia nggak ingin kita khawatir," pungkas Jovan mengakhiri obrolan karena ponselnya berdering. "Gue angkat telepon dulu."
"Pantesan kalian ke sini, tumben nggak langsung ke bengkel gitu," sahut Alayya sembari mengelap meja bekas tumpahan serbuk kopi. "Ya, kan dia sakit makanya bengkel tutup, gimana sih adik lo, Gir!"
Hanya lirikan tajam mampu membuat Nuha ketar-ketir sendiri, dia memilih untuk menyeruput kopi daripada membalas tatapan Aegir.
"Entar kita ke rumah kak Tirta buat jenguk," saran Aegir membuat kedua laki-laki itu menganga. "Sembuhin dulu kaki lo."
"Keburu Kak Tirta sembuh ege!" Nuha meneloyor kepala Valdrin, membuat cowok itu meringis kesakitan. "Sakit anjir!"
"Lha elo ngadi-ngadi kalau ngomong," timpal Nuha ingin menepuk punggung Valdrin lagi, tapi untuk kali dia berhasil menghindar.
Malam ini Alayya di angkringan sampai tutup, bersama Nuha dan Valdrin, sedang tadi Jovan pamit pulang karena urusan mendadak.
"Gue anter gimana?" tawar Nuha seraya membantu Alayya menutup pintu angkringan, gadis itu menggeleng. "Udah larut, Kak. Mending kalian pulang."
"Nggak papa kali."
Namun, keputusan final berada di tangan Aegir. Laki-laki yang saat ini berjalan menuju motor menggeleng tidak enak terus merepotkan teman-temannya apalagi tadi mereka juga sudah membantu menjaga angkringan.
"Terus lo pulangnya kek mana kalau kaki lo masih sakit?" tanya Valdrin melihat Aegir yang berjalan sedikit pincang.
"Dibonceng Aya," balas Aegir membuat keduanya mengangguk, bernapas lega. Pasalnya Aegir sering kali memaksakan diri.
Sesampainya di rumah, Alayya kembali membantu Aegir berjalan masuk. Dia merogoh kunci rumah, tapi pergerakannya berhenti saat tengkuknya terasa sakit karena pukulan seseorang.
"Mau bermain curang lagi, hah? Belum juga ngehasilin uang dari perlombaan kalian! Kalian tidak mau menyetor hasil angkringan!" seru Luwis dengan napas ngos-ngosan, di tangannya saat ini terdapat balok berukuran sedang untuk memukul kedua ponakannya.
"Maaf, Paman. Rencananya mau aku anter besok," belanya mengusap tengkuk yang sedikit terasa nyeri, dia mengambil beberapa lembar uang dari tas kecilnya. "Itu hasil hari ini."
Begitu menerima uang, Luwis menghitungnya dengan senyum yang merekah. "Bagus!"
Luwis sama sekali tidak memberikan uang kepada ponakannya, dia menikmati hasil kerja keras mereka tanpa memberi sepeserpun. Lalu pergi jika sudah mendapat apa yang dia mau.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Novela Juvenil"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...