Happy reading_
•••
Jangan dipendam, nanti semakin lama semakin dalam lukanya.
—Aegir Bhairavi•••
Dari arah berlawan Jovan melihat seorang gadis yang melamun di jalan, cowok itu menyipit. Dia melihat sebuah truck yang ugal-ugalan melaju dengan kecepatan tinggi."Ay, awas!" teriaknya saat tersadar jika gadis itu adalah Alayya, sontak gadis itu mendongak begitu tahu apa maksud Jovan Alayya segera menepi.
"Lo nggak papa?" Alayya menggeleng, Jovan melihat pakaian yang Alayya pakai basah. "Lo habis ngapain malem-malem gini, dari mana?"
Sebenarnya Jovan kurang peka atau bagaimana, tidak sadarkah dia jika sekarang Alayya sedang membendung air mata. Namun, itu tidak masalah bagi dirinya.
"Ke angkringan habis dari rumah Paman Luwis," timpal Alayya seadanya. "Ya udah gue anterin."
"Nggak usah, bukannya tadi mau pulang?" tanyanya tidak enak. "Woilah kayak sama siapa aja, yuk gass!"
Akhirnya Alayya menerima, agar dia sampai angkringan lebih cepat. Sesampainya di sana Jovan langsung pulang.
"A—ada apa, Ay?" Aegir terperangah ketika melihat pakaian adiknya basah, padahal sejak tadi tidak ada hujan. Alayya belum menjawab.
"Gue bawa baju ganti di tas, lo pakai aja dulu daripada lo masuk angin," katanya masih melayani pembeli. "Iya, Bang."
Alayya memakai pakaian Aegir yang sedikit kebesaran di tubuhnya, saat usai mengemasi pakaian yang basah dia melihat Aegir yang menunggunya, mungkin menunggu dia menjawab pertanyaannya tadi.
"Bibi Riska," lapornya langsung memeluk Aegir sangat erat, tidak perlu banyak kata pun pasti sudah memahaminya.
Aegir hanya mengusap-usap punggung Alayya lembut, dia membiarkannya sedikit lama agar adiknya kembali tenang.
"Jangan dipendam, nanti semakin lama semakin dalam lukanya." Cowok itu menangkup wajah Alayya sejenak kemudian mencium ubun-ubunnya, dia melihat mata yang siap menangis. Namun, mati-matian ia tahan.
"Aya pengen tidur, punggung Aya sakit ...," lirihnya membuat Aegir mengembuskan napas gusar kemudian berkata, "Tidur aja di sini, entar pas pulang gue bangunin."
Bukannya beranjak, Alayya malah menyembunyikan wajah di dada bidang Aegir, seakan menjadikannya bantal. "Di sini."
"Capek, Bubble?" Dengan cepat Alayya menggeleng, bagaimana bisa dia ngomong lelah di depan seorang yang tidak pernah berhenti bekerja keras. Bahkan sejak dulu jika anak seusia Aegir sibuk bermain, Aegir mengurus adiknya, belajar apa yang pamannya minta, dan tentunya mengurus angkringan.
Aegir membiarkan Alayya tidur di pelukannya, angkringan juga masih rada sepi. Semua pesanan sudah ia buatkan.
Begitu melihat adiknya terlelap, Aegir menyingkirkan anak rambut Alayya ada sejuta cerita bersamanya dan ada banyak hal yang sampai saat ini menjadi harap. Satu lagi, Aegir sering bertanya-tanya apakah dia sudah menjadi kakak sekaligus orang tua yang baik untuk Alayya. Apakah dia sudah membuat adiknya bahagia?
Dia membaringkan tubuh Alayya hati-hati, kemudian menyabet sarung untuk menyelimuti gadis itu.
"Jika boleh biar gue yang nanggung semuanya, biar lo bisa bahagia." Senyuman kecil itu membuat Aegir merasa sesak. Dia mengusap dahi Alayya sebelum menciumnya lagi, kali ini sedikit lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Novela Juvenil"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...