Happy reading_
****
"Jika semesta memberikan luka, maka semesta juga akan memberikan obatnya."
—RECAKA***
Empat remaja duduk dengan tenang di sofa tua rooftop sebuah bangunan lantai dua, di depan mereka seorang laki-laki menggunakan kaca mata menatap mereka satu persatu seakan sudah siap menyidang.Alayya duduk di paling pokok sebelah Aegir, sedang di sampingnya ada Jovan dan Valdrin. Kedua remaja laki-laki yang mengembuskan napas berulang kali.
"Ayolah, Kak. Nunggu siapa lagi," protes Alayya sudah lelah, hampir setengah jam mereka duduk tanpa obrolan. Masing-masing dari mereka berperang dengan pikirannya.
"Nuha," jawabnya singkat sembari membenarkan letak kaca matanya. "Emang Nuha ke mana?"
"Ke wc sebentar," timpalnya menanggapi pertanyaan dari Aegir.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga, seorang laki-laki berkulit putih menyunggikan senyum.
"What's up, Bestaii!" serunya langsung mengalami mereka gantian. "Lha tumben adiknya Aegir ke sini?"
Daripada Nuha mengeluarkan banyak kata, Valdrin langsung menariknya duduk agar masalah cepat beres.
"Tadi kakak di sekolah sampai acara selesai," kata laki-laki yang menyidang mereka, beberapa kata itu langsung membuat jantung mereka ingin keluar.
"Kak Tirta?" Dia hanya mengangguk saat Aegir membuka suara.
Tirta Amarta, seorang laki-laki berkacamata yang saat ini masih menginjak bangku kelas sebelas, tapi kepribadiannya sangat dewasa. Sering dianggap orang tua oleh Aegir, Alayya, Jovan, Valdrin, dan Nuha.
Jika Aegir dan Jovan bisa akrab karena Jovan sering main ke angkringannya, maka Tirta bisa akrab dengan mereka karena dia pemilik bengkel sebelah angkringan Aegir.
"Lha berarti Kak Tirta tahu kejadian di sekolah tadi?" tebak Jovan membuatnya kembali mengangguk, dia tidak banyak omong. Namun, sekalinya ngomong pasti tegas.
"Udah Kakak bilang jangan buat rusuh di hari pertama, terutama kalian ... Nuha dan Valdrin, kabur?" Tirta melihat keduanya bergantian, Nuha hanya meringis membenarkan.
Jika Aegir dan Jovan lebih suka bertahan dengan cara mereka, berbeda dengan Valdrin dan Nuha yang lebih suka pergi jika dirasa membosankan seperti acara MOS tadi.
"Nih, setan sultan bisikin hal yang nggak bener ke gue."
Bukan tanpa alasan Nuha memanggilnya dengan sebutan setan sultan, karena selain terkenal tajir Valdrin paling bobrok di antara mereka. Selalu punya rencana yang menyalahi aturan seperti tadi, dia mengajak Nuha bolos. Parahnya Nuha setuju.
"Lha anjir, lo juga ngikut!" belanya tidak terima disalahkan.
"Heh, nyet! Lo dulu!"
Tirta diam dengan tatapan datar, membuat keduanya menelan saliva dengan susah payah.
"Maaf, Kak."
"Kalian berlima besok dipanggil ke kantor kabarnya," jelas Tirta memberi tahu, tapi hal itu ditepis oleh Jovan. "Lha, kenapa?"
"Kalian sudah buat kekacauan hari ini, kemungkinan kalian juga pulang telat besok," katanya membuat bahu mereka merosot, pasrah terutama Alayya dan Aegir. Jika pulang telat pasti paman mereka akan marah.
"Lain kali jangan diulangi," pesan Tirta kemudian terdiam sebentar, menyadari bagaimana susahnya mengatur remaja seusia mereka. Di usia-usia seperti inilah mereka sering kali melakukan sesuatu tanpa dipikir akibat yang di timbulkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Ficção Adolescente"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...