Happy reading_
•••
Pak Arifin ke UKS untuk sekadar memeriksa anak didiknya, dia melihat Aegir yang masih memejamkan mata ditemani adiknya."Aegir tadi pingsan?" Alayya menggeleng kemudian berkata, "Abang sedang tidur, Pak."
Sebenarnya Alayya ingin balik ke kelas untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar, tapi tangan Aegir menggenggam erat tangannya membuat dia tidak tega jika harus meninggalkan.
"Udah minum obat?" tanya pak Arifin memijit kaki Aegir sebentar. "Belum, masih dibeliin sarapan sama kak Tirta kata kakak PMR-nya nggak boleh minum obat sebelum makan."
Beliau hanya ber-oh riah sebelum keluar kembali, bersamaan dengan itu Tirta masuk membawakan dua bungkus bubur beserta sendoknya.
"Ay, aku balik ke kelas dulu, ya ada jam, jangan lupa kamu juga makan," pamit Tirta sekaligus mengingatkannya.
Alayya membangunkan Aegir pelan-pelan, syukurlah abangnya mudah sekali untuk dibangunkan.
"Lo makan aja, gue mau tidur lagi," ujarnya dengan lemas, seperti tidak mood untuk makan. "Dikit aja biar Abang bisa minum obat, terus tidur lagi, ya."
Dia membantu Aegir untuk duduk. "Kalau Abang nggak mau entar dibawa ke rumah sakit lho."
"Gue nggak kenapa-napa, Ay," elaknya masih mengumpulkan nyawa dengan iseng Alayya mengacak rambut depan Aegir. "Orang lemes kayak gini."
"Hm hm, kalung gue ke mana?" gumam Aegir saat tersadar dia tidak menggenggam apapun. "Udah Aya pasangin."
Aegir mengembuskan napas lega, bisa galau merana jika kalung peninggalan bibinya hilang begitu saja.
"Ayo!" titah Alayya mengangkat sendok, hendak menyuapi abangnya. "Nggak enak, Ay."
"Astaga belum dicoba juga, ayolah ini kak Tirta lho yang beliin. Entar kalau Abang nggak makan, Kak Tirta bisa sedih usahanya nggak dihargain," tuturnya berusaha membujuk Aegir agar menurut. Alayya mengusap wajah abangnya. "Dikit aja, ya."
Aegir membuka mulut, dengan senang hati Alayya menyuapinya. Meski sedikit terpaksa setidaknya perut Aegir tidak kosong dan bisa minum obat.
Setelah selesai makan dan minum obat, Alayya membaringkan Aegir lagi. Sebelum pamit ke kelas dia mencium tangan kanan Aegir berulang kali karena tangan kirinya masih terbalut kasa steril, Alayya takut menyakiti abangnya. "Cepet sembuh Abang."
"Entar kalau jam istirahat lo ke sini," kata Aegir tanpa ekspresi, masih belum mau ditinggal sebenarnya. Namun, dia tidak boleh egois dengan membuat Alayya ketinggalan banyak materi. "Pasti."
"Ya udah Aya ke kelas dulu, ya." Alayya pergi menyisakan dirinya sendiri di ruangan serba putih ini, Aegir memandang langit-langit ruangan sebelum matanya kembali terpejam mungkin faktor obat yang mulai bereaksi.
*****
Langkahnya sedikit cepat saat melihat pak Asfi sudah keluar kelas, berarti dia ketinggalan satu materi hari ini saking fokusnya melihat ruang kelasnya tidak sadar dia menabrak seseorang.
Brak!
"Aduh, maaf." Alayya terduduk, sedangkan orang ditabrak masih berdiri di tempat. Alayya mengumpulkan beberapa kertas yang sempat berantakan di lantai, tanpa melihat wajah orang yang ia tabrak. "Eh, kenapa ada stuck obat expired?"
"Bukan urusan elo!" kesal seorang cowok langsung merebut kertas itu dari Alayya. Begitu mendengar suaranya, dia langsung berdiri dan berwajah masam serta mendumel, "Seharusnya tadi nggak usah gue bantuin."

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Ficção Adolescente"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...