046 - This My Family

276 32 12
                                        

Happy reading_

•••

Keluarga itu saling menjaga.
—Jovan Nohea

•••


"Artinya?" tanya Alayya penasaran, setiap yang Tirta lakukan pasti ada artinya. "Penulis sering menggunakan tanda ini untuk jeda sebuah kalimat, bukan sebuah akhir."

Alayya mendengarnya. "Kalau akhir itu titik?"

"Iya, Aya. Sama seperti kehidupan sebesar apapun masalah yang kamu hadapi kakak harap jangan nyerah atau berhenti sebelum waktunya. Kalau capek istirahat, kasih jeda karena ini tubuh bukan robot yang terus-terusan dipaksa untuk kerja. Semua sudah ada porsinya masing-masing." Pelan-pelan tanpa Alayya sadari Tirta mengobati luka goresan di lengannya kemudian meniupnya sekilas. "Sakit?"

Meski sudah sangat hati-hati tetap saja Tirta khawatir akan menyakitinya, tak heran setiap selesai mengobati dia akan menanyakan apakah dia mengobati atau justru melukai.

"Makasih, Kak."

"Iya, sini ... kamu ingat garis yang ada di halaman terakhir buku kakak?" Alayya mengangguk, masih ingat betul. "Kalau begitu setiap kali kamu pengen gores tangan coba alihkan ke kertas, buat garis-garis semacam itu."

"Berat." Gadis itu menghela napas, baginya sudah nyaman melukis di atas kulit daripada kertas. Namun, bukan Tirta namanya jika menyerah sampai sana. "Dicoba dulu."

"Kalau nggak bisa, coba ceritakan semua perasaan kecewa, marah, kesal, rindu, dan apapun itu kemudian robek-robek kertasnya dengan begitu kadang bisa menenangkan," sambungnya sembari mengusap pelan kepala Alayya. "Kamu itu adikku, kalau kamu sakit aku pasti lebih sakit."

"Makasih, Kak. Udah datang. Makasih udah ngertiin Aya tanpa memaksa, Aya akan coba," tuturnya seraya jatuh ke pelukan Tirta.

Saat melihat jam di ponselnya, Tirta sadar akan sesuatu. Sudah menunjukkan pukul tujuh malam itu artinya hari akan semakin larut.

"Kamu mau ke rumahku?" tawar Tirta sebenarnya tidak tega meninggalkan Alayya sendirian. "Untuk?"

"Kamu bisa tinggal bersamaku biar nggak sendirian, toh di sana juga ada Jovan." Alayya menggeleng, baginya lewat perantara rumah penuh kenangan inilah ia bisa sedikit mengobati rasa rindu kepada abangnya. "Aya selalu nunggu di sini sampai Abang pulang."

"Ya udah, kalau begitu aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik, kalau ada apa-apa langsung kabarin," kata Tirta beranjak keluar rumah, menghampiri mobilnya.

"Kak Tirta, tunggu!" Mendengar hal itu Tirta menghentikan langkah, "Iya?"

"Ini pecahan kacanya!" serunya memberikan beberapa pecahan kaca kepada Tirta, tak terkecuali bekas pigura yang kemarin baru saja jatuh.

Tirta tersenyum, akhirnya tanpa ia memaksa gadis itu memberikannya.

Sepulang dari rumah Alayya, dia menghubungi orang kepercayaannya yang ditugaskan untuk mencari keberadaan Aegir. Tidak mengapa jika Aegir pergi, tapi kenapa tanpa kabar seperti ini. Bahkan Aegir melupakan janjinya, ya sebelum Aegir berangkat dia berjanji jika sudah sampai akan mengubungi Tirta. Namun, sampai sekarang belum juga ada kabar.

Dia meletakkan ponselnya di meja sembari menyandarkan diri di kursi putar miliknya, "Setidaknya jangan bikin khawatir seperti ini."

Di antara asbara full team hanya Tirta yang lebih banyak tahu mengenai Aegir, bagaimana tidak laki-laki itu selalu bercerita kepadanya.

Mungkin kabar dari Aegir akan membuat Alayya merasa lebih baik, pikirnya kemudian beranjak keluar.

Bukan hanya satu atau dua orang, bahkan Tirta meminta beberapa orang yang tersebar di beberapa titik tertentu. Namun, hasilnya nihil mereka masih belum menemukan Aegir.

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang