Happy reading_
•••
Tidak akan gue biarkan hal buruk terjadi kepada lo.
—Tertanda, Aegir Bhairavi.•••
"Kenapa Bang Aegir ngajak Aya ke sini?" tanyanya sembari melihat sekeliling taman bunga, di sampingnya seorang laki-laki yang masih berseragam lengkap abu-abu putih dengan jaket denim itu menjawab, "Biar lo rileks dulu."Berbeda dengan Alayya yang memakai cardigan berwarna hijau tua dengan rambut yang ia kuncir sedikit, dia memilih duduk di ayunan panjang yang terbuat dari kayu.
Kakinya mengayun pelan membuat ayunan tersebut bergerak sedang Aegir duduk di sampingnya.
"Abang bolos lagi?" Aegir menggeleng. "Gue izin, Ay. Nganterin elo, toh Kak Tirta udah buat janji sama dokter spesialis lo.".
"Aya ngerepotin mulu perasaan," sahutnya membenarkan pita yang bercorak huruf Jepang di kepala. "Hiya saking ngerepotinnya gue sampai rela bolos demi elo."
"Tuh, 'kan! Udah mending Abang kembali aja ke sekolah biar Aya berangkat ke RS sendiri. Aya bisa kok," tuturnya malah mengusir Aegir sembari mempunyai tekad agar ke sana sendiri. "Berjanda, Ay. Astaga lo mah!"
"Pakai c, Bang. Bukan j," kesal Alayya sepertinya tengah merajuk. "Iya, intinya itu. Btw, lo mau ice cream? Bentar gue beliin."
Belum juga menjawab Aegir sudah ngacir ke tukang ice cream keliling, cowok itu nampak antusias menemani Alayya ditambah ini adalah pertama kali mereka jalan setelah ingatan Aegir kembali.
Tak lama Aegir kembali dengan membawa satu ice cream rasa green tea, dia menyodorkan ke Alayya. "Abang nggak beli?"
Dia hanya menggeleng, kemudian memilih diam melihat Alayya menghabiskan ice cream. Tangannya mengusap pelan kepala gadis itu kemudian berkata, "Matanya masih sakit?"
Alayya tercengang, kenapa Aegir terus-terusan menanyakan hal itu. Sudah jelas kemarin dia sudah menceritakan jika sudah tidak terasa apa-apa.
Terlihat raut wajah khawatir Aegir, tapi cowok itu langsung menutupinya. Bagaimana tidak khawatir, jika luka yang Alayya rasakan saat ini adalah hasil perbuatannya.
Dulu, otaknya ke mana. Kenapa dirinya bisa melukai adiknya sendiri, mana dia seorang perempuan, dan lagi Alayya tidak menyerang atau membalas.
Ada perasaan penyesalan yang amat dalam di hatinya dan berjanji jika ada suatu hal yang buruk, dia yang akan tanggung jawab.
"Abang nggak usah terlalu khawatir, aku nggak papa," jawabnya singkat kemudian menyodorkan ice cream ke Aegir. "Mau?"
"Enggak, buat lo aja." Aegir melihat sekitar, taman ini tidak banyak pengunjung. Mungkin mereka masih ada jam di sekolah atau masih bekerja karena hari senin adalah hari yang padat oleh aktivitas.
"Abang, Abang! Tadi pas Bang Aegir pulang ditanyain nggak sama pak Air?" tanya Alayya iseng, agar mereka tidak kehabisan topik pembicaraan.
Setelah kejadian malam itu, Aegir tidur di rumah lamanya. Baru tadi pagi dia ke rumah pak Air.
"Iya kalau ditanya itu pasti, tapi papa ngerti kok."
Menyadari Aegir memanggil 'papa' dengan mudahnya, Alayya tersenyum. Entahlah senyum yang sulit untuk diartikan.
"Sekarang pak Air baik banget, ya, Bang. Syukur deh udah berubah," lanjutnya membuat Aegir langsung peka, dia merangkul bahu Alayya kemudian membisikkan sesuatu. "Gue ngerti apa yang lo pikirin, tapi Aya ini bukan saat yang tepat untuk membuka rahasia."
KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Teen Fiction"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...