Happy reading_
•••
Selama apapun rahasia yang tersimpan, tabirnya akan terbuka. Entah hari ini, esok, atau nanti.
—Recaka•••
"Bang, ini arahnya ke rumah pak Air, 'kan?" Aegir mengangguk. "Kita ke sana, tadi papa ngabarin kalau Johan nggak bisa dihubungi."Suara Aegir agak ia keraskan, khawatir lawan bicaranya tidak dapat mendengar karena suara deru kendaraan yang saling bersahutan.
Alayya hanya diam, kata Aegir tadi Johan tidak pulang semalaman bahkan tadi di sekolah juga tidak terlihat.
"Tapi Aya nggak bawa baju ganti," ucapnya membuat Aegir menggeleng. "Lo pakai baju gue nggak papa!"
Sesampainya di tujuan, Aegir langsung menemui pak Air kemudian menanyakan apa Johan sudah ada kabar atau belum sedangkan Alayya ke kamar Aegir untuk ganti baju.
"Gue tinggal dulu, ya," pamitnya sembari meletakkan baju oblong dan celana kepada Alayya. "Lo pakai itu."
"Okay, Abang."
Selama Aegir pergi Alayya tetap di kamarnya. Memang sesekali dia keluar entah itu mengambil camilan atau keperluan lainnya, tadi saran Aegir agar istirahat di kamarnya. Kamar yang biasanya Alayya tempati belum dibersihkan dan asisten rumah tangga mereka sedang cuti karena ada keluarga yang meninggal.
"Bi, tolong ambilkan teh di kulkas!" Teriakan pak Air sampai ke kamar Aegir, ya kamar mereka sebelahan.
Alayya punya inisiatif untuk mengambil minuman yang pak Air maksud, sejak kedatangannya ke rumah ini dia melihat pria itu nampak stress. Mungkin selain memikirkan Johan juga pusing karena kerjaan.
"Pak Air pasti lupa kalau bibi lagi cuti," celetuk Alayya turun tangga dan segera ke dapur, dia mencari minuman yang dimaksud pak Air kemudian membawanya ke atas.
Sebelum masuk Alayya mengetuk pintu pelan, menghormati privacy. Setelah dipersilakan masuk, barulah gadis yang sedang membawa nampan berisi teh dingin melangkahkan kakinya untuk masuk.
"Ini diletakkan di mana, Pak?" Sontak pak Air yang awalnya fokus menatap layar komputer menoleh, terdengar suara yang berbeda. "Alayya?"
Gadis itu mengangguk. "Bibi sedang cuti, Pak. Maaf, saya lancang."
Pak Air bukan kaget dengan keberadaan Alayya karena tadi Aegir juga ngomong membawa Alayya ke rumah ini, hanya saja sedikit terkejut Alayya mengantar minumannya.
"Eh, nggak papa justru saya yang minta maaf udah merepotkan kamu," jawabnya mengambil segelas teh dingin dari nampan yang Alayya pegang.
Saat ingin keluar sebuah ucapan membuatnya berhenti. "Sebentar, itu bukannya kalung Ryu?"
Dia membulatkan mata, bagaimana bisa dia ceroboh seperti ini dengan membiarkan kalungnya berada di luar kaos. Padahal Aegir sudah mengingatkan agar kalung tersebut jangan sampai terlihat orang apalagi pak Air.
Selama ini yang pak Air tahu kalung pemberian Anggita hanya satu, padahal kenyataannya kalung tersebut berjumlah dua dengan desain dan model yang serupa.
Alayya memejamkan mata sembari menelan ludah, dia pun berusaha setenang mungkin dalam menjawab pertanyaan pak Air.
"Tadi aku menemukannya di laci terus iseng aku pakai hehe," katanya sembari melepas kalung tersebut kemudian menggenggamnya erat. "Oh gitu, ya udah nggak papa. Sini biar saya yang ngasih ke Ryu. Kalung ini sangat berarti baginya."
KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Ficção Adolescente"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...