Happy reading_
•••
Jangan menghukum manusia karena kesedihanmu, apapun yang berlebihan itu tidak baik.
—Recaka•••
"Kak, seminggu lagi aku akan tampil," katanya dengan sumringah memberi kabar ini kepada seorang laki-laki yang tak mengalihkan pandangannya dari buku tugas.Alayya yang baru saya kembali langsung duduk di depan bangku Valdrin, cowok itu masih asyik mengerjakan tugas yang kemarin sempat terlupakan.
Awalnya Alayya ikut kelas pelatihan olimpiade, tapi akibat dari tragedi dua bulan silam dia banyak tertinggal ditambah semenjak kejadian itu ia sering mengeluhkan sakit kepala ketika dibuat berpikir terlalu berat.
"Pidato?" tebak Valdrin langsung diangguki Alayya. "Iya ini teksnya udah dibagi tinggal dihafalin, temanya hari ulang tahun sekolah."
"Bagus dong dipilih sebagai delegasi ekstrakulikuler, tapi jangan dipaksa kalau kepalanya sakit buat ngafalin berhenti dulu, entar dilanjutkan lagi."
Alayya tersenyum merekah. "Pasti, biar cepet pulih, 'kan?"
Valdrin tersenyum, sejenak dia menatap Alayya dan meninggalkan pekerjaannya. "Mulai sekarang harus persiapan, Ay. Jangan sampai nanti terburu-buru."
"Pasti, Kak. Euhm ... nggak ke kantin?" Cowok jakung itu menggeleng. "Masih nyelesein pr, kemarin gue lupa buat ngerjain. Kalau lo pengen ke kantin ... Jovan ada di sana keknya."
"Kak Tirta?" tanya Alayya, belakangan ini dia jarang bertemu dengan Tirta selain faktor kesibukan Tirta juga sedang mempersiapkan musikalisasi puisi yang akan disuguhkan di acara nanti. "Masih sibuk ngurus acaranya mungkin, Ay. Entahlah gue juga nggak tahu orang bengkelnya saja sampai ditutup sementara."
"Dia sibuk banget, ya sekarang," celetuk Alayya malah melamun, melihat keluar jendela. Kalau Nuha sekarang ada latihan basket untuk turnamen esok. "Hm, tapi kalau lo minta temenin, gue rasa Kak Tirta langsung berangkat."
Gadis dengan rambut pendek itu menggeleng. "Makanya itu, Kak. Aku nggak mau ngerepotin Kak Tirta terus."
"Sekarang ganti ngerepotin gue, ya hahaha," candanya membuat Alayya memukul dengan buku yang digulung. "Ish, Kakak mah."
"Canda doang, Ay. Lagian manusia sejak lahir sudah ngerepotin orang nggak bisa gitu hidup sendiri secara mandiri," tuturnya sembari membereskan buku, dia sudah selesai. "Namanya juga makhluk sosial, Kak."
"Oh, ya kepala lo masih sering sakit nggak?" tanya Valdrin sadar akan sesuatu, lukanya memang sudah kering, tapi efeknya masih sampai sekarang. "Kadang, tapi nggak papa udah nggak separah dulu."
Valdrin mangut-mangut mengerti, kemudian mengusap kepala Alayya. "Jangan lupa obatnya tetep diminum, pola makan dan istirahat dijaga, okay?"
"Selalu."
"Pinter."
Kedua matanya masih menatap gadis itu dalam meski objeknya menunduk membaca berbagai huruf yang berjajar rapi, seakan kasih sayang Valdrin kepada Alayya tidak akan pernah berkurang sedikitpun.
Entah mengapa Valdrin masih belum terima jika Alayya bisa seceria ini padahal sudah dua bulan Aegir meninggalkannya dan tanpa kabar sama sekali. Kadang dia ingin terus mendekap gadis ini, tak membiarkan rasa kesepian menghampirinya. Namun, saat ingin mengulik tentang Aegir, Valdrin selalu dibuat kalah oleh rasa tidak enak.
Alayya sanggup menyembunyikan rasa sakitnya, dia tidak ingin menghukum orang lain hanya karena kesedihannya. Toh, dia juga percaya dengan ucapan Aegir, jika abangnya berjanji akan kembali maka dia akan menepatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Roman pour Adolescents"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...