Happy reading_
•••
"Gue di sini buat nyari ilmu, bukan nyari musuh! Tapi kalau lo ngajak ribut, gue ladenin."
—Alayya Nalani•••
Selain menjadi atlet lari, Aegir juga ditekan pamannya agar lihai di bidang seni bela diri. Hal itu Luwis lakukan agar mendapat tambahan uang selain dari hasil uang pembinaan jika Aegir juara.
"Jangan lupa adikmu terus dilatih publik speaking, biar dia juga bisa menghasilkan lebih banyak uang," ujarnya santai, duduk bersila dengan menikmati secangkir kopi hitam buatan Riska, istrinya.
"Dia sudah berusaha keras untuk memperoleh beasiswa akademik," sahut Aegir.
"Lha apa hubungannya sama gue? Pokoknya lo pada setor, aman." Luwis beranjak mengambil sebuah tali tampar yang berukuran besar.
Sudut bibirnya menyungging, remang-remang Aegir merasa pamannya akan melakukan sesuatu.
Cetar!
Tali itu menyabet kaki Aegir sontak remaja laki-laki itu menahan sakit dengan memejamkan mata, jika dia mengeluh Luwis akan menambahnya.
"Biar kuat," kata Luwis sedikit tersenyum, selain menjadi guru bela diri untuk Aegir dirinya juga menjadi pelatih lari untuknya.
Cetar!
Tak ayal keseimbangannya goyah, dia hampir saja roboh. Aegir sedikit merintih kesakitan tak membuat pria dengan tali tampar di tangannya kasihan. Namun, justru pamannya berkata, "Masak gini doang mau roboh?"
Cetar!
Untuk ketiga kalinya Luwis menyabet kaki Aegir, setelahnya dia meninggalkan remaja itu di sana.
"Gue awasi lo dari dalam, terus latihan!"
Setelah memastikan Luwis benar-benar masuk, Aegir duduk. Dia melihat kakinya yang memerah. Memang tidak berdarah, tapi sakitnya begitu luar biasa.
Saat berdiri pun, Aegir memegang samsak sebagai topangan. Dia tidak yakin besok bisa berjalan atau tidak.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Dia mengabaikan rasa sakitnya, Aegir memukul samsak secara brutal. Ada sebuah keinginan untuk berontak, tapi lagi-lagi dia kalah dengan perasaannya. Aegir khawatir melukai Luwis, ditambah beberapa hari terakhir Luwis sempat sakit-sakitan. Dia ingin menghindar, tapi entah mengapa dia selalu luluh dengan ucapan bibinya.
"Suatu saat pamanmu akan berubah."
"Sampai kapan paman seperti ini?"
Keringatnya mengucur deras, malam ini Aegir benar-benar kehabisan tenaga. Dia terduduk dengan perasaan campur aduk. Antara marah dan sakit.
*****
"Pagi, Bang." Alayya mencoba membangunkan Aegir, tadi selepas cuci piring abangnya kembali tidur. Perasaan kemarin mereka tidur agak sorean. Gadis itu tidak tahu jika kemarin Aegir keluar.
Alayya melipat sarung bermotif kotak-kotak dan membersihkan tempat tidurnya. Iya, mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli selimut berbulu atau garis-garis. Mereka menggunakan sarung yang diberi bibinya saat mereka masih kecil.
"Abang sakit?" Paniknya menyadari suhu tubuh Aegir berubah, dia meletakkan tangan di dahi abangnya. "Kemarin Bang Aegir latihan sama Paman?"
"Hm." Hanya satu jawaban membuat Alayya semakin khawatir. "Kalau udah tau sakit, ngapain tadi Abang nyuci piring? Kan ada Aya."

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Fiksi Remaja"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...