022 - Bebas

299 32 0
                                    

Happy reading_

•••

Kehidupan itu selalu berputar layaknya roda, yang di atas pun ada kalanya di bawah dan begitu pula sebaliknya.
Recaka

•••


"Bang, beras kita habis. Bahan makanan pun juga," lapor Alayya setelah mengecek di semua tempat, sudah tidak ada lagi simpanan. Terakhir kemarin mereka masak di rumah pohon. "Entar kita beli, sekarang lo makan ini."

Uang Aegir hanya tersisa uang tabungan selain itu semuanya sudah habis untuk biaya hidup mereka sehari-hari dan sekolah, seharusnya itu untuk masa depan mereka. Namun, melihat situasi sekarang mau tak mau ia harus mengambil untuk keperluan mereka.

Aegir menyerahkan sebungkus roti dua ribuan ditambah susu kotak rasa melon yang diberi Tirta beberapa hari yang lalu setidaknya hal itu bisa untuk mengganjal perut.

"Terus, Abang?" Laki-laki itu menggeleng kemudian berkata, "Gue masih kenyang, Ay. Buat lo aja."

"Beneran?" Aegir mengangguk mantap seraya memakai kalung berwarna hitam pemberian bibinya kemudian memasukkan ke dalam kaosnya. "Hari ini upacara lho, Bang."

"Iya, makanya cepetan keburu telat, Bubble." Aegir mengemasi barang-barang, tak lupa memakai sepatu sembari menunggu Alayya menghabiskan sarapan.

Hari ini Alayya sudah diperbolehkan sekolah, kemarin Tirta sudah menyerahkan semua bukti yang menunjukkan jika Alayya tidak bersalah. Dia hanya korban jebakan Zoey.

Sebaliknya Zoey dikeluarkan dari sekolah, kasusnya tidak hanya menjebak Alayya, tapi juga menuduh dan mengadakan transaksi minuman haram. Sekolah tidak bisa mentolerir hal tersebut.

"Abang, cepet buka mulut!" titah Alayya setengah berlari, kemudian menyuapi abangnya dengan sepotong roti. "Buat lo aja, Ay."

"Udah ih, ayo!" pintanya sedikit memaksa membuat Aegir mau tak mau membuka mulutnya, mana sudah di depan wajah.

Mereka berangkat berdua dengan sedikit terburu-buru karena perkiraan mereka lima menit lagi pasti bel sudah berbunyi dan anak-anak SMA Sky Light berbaris dengan rapi di lapangan utama untuk melaksanakan upacara rutin mingguan.

Benar saja tepat saat mereka di parkiran bel berbunyi, hal itu membuat Aegir dan Alayya langsung berlari ke kelas masing-masing untuk meletakkan tas sebelum bergabung bersama teman-teman yang lain.

Mereka sama-sama berada di barisan paling belakang, tapi justru itu situasi yang bagus agar Aegir bisa memantau Alayya.

Panas terik matahari mulai menyengat tubuhnya ditambah amanat pembina upacara yang panjangnya seperti gerbong kereta api, Aegir mengibaskan tangan padahal yang lain posisi istirahat.

Tubuhnya mulai berkeringat dingin ditambah tenggorokannya terasa tidak nyaman, seperti hendak memuntahkan isi perut. Namun, dia tahan lagipula lima atau sepuluh menit lagi pasti upacara akan selesai.

Aegir menggaruk tengkuknya sendiri, semakin lama tubuhnya semakin tidak enak. Tangannya mengusap keringat di dahinya.

"Kamu kenapa, keluar barisan dulu sana!" saran Tirta yang kebetulan berada di perbatasan kelas sepuluh dan sembilan. "Nanggung, Kak. Sedikit lagi selesai."

"Wajah lo pucet, Gir." Jovan menyahut, mau tak mau Aegir menurut. Dia keluar barisan dan duduk di bawah pohon rindang yang tak jauh dari barisan.

Sempat dihampiri tim kesehatan dari PMR, agar Aegir ke tenda atau ke kelas agar dapat istirahat dengan nyaman. Namun, dia kekeh tidak mau sampai akhirnya kepala Aegir terasa berat ditambah pandangannya mulai berkunang-kunang. Dia menyembunyikan wajah di atas tumpuan lututnya.

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang