Happy reading_
•••
Kadang seseorang tidak bisa merasakan apa itu sakit, sampai dia benar-benar mengalaminya.
—Recaka•••
"Aya aja, Aya akan turuti semua kemauan paman!" tekadnya memberikan penawaran, tidak banyak berpikir Luwis langsung mengiyakan.Alayya harus meninggalkan Aegir, meski hatinya berat. Sore ini dia membuka angkringan dibantu Valdrin dan Nuha sedangkan Tirta yang menemani Aegir.
"Kalau capek istirahat dulu, Ay," katanya sembari menggigit bibir bawah miris, melihat Alayya berjalan tertatih untuk mengantarkan pesanan customer. "Nggak papa, Kak."
Untuk Aegir dia harus menahan sakit, agar Luwis tidak memaksa Aegir untuk bekerja toh sekarang abangnya masih tak sadarkan diri di rumah sakit. Lebih baik dia yang sakit, daripada melihat Luwis menganggu Aegir.
Sebelum membantu Alayya di angkringan, Valdrin ke rumah Luwis untuk memberikan penawaran baru yakni angkringan tutup, tapi dia tetap mendapat uang satu juta perhari asal tidak meminta Alayya membuka angkringan atau menganggu pengobatan Aegir. Namun, sayangnya dengan kekeuh Luwis menolak dan meminta Valdrin untuk tidak ikut campur urusan keluarga mereka.
"Buka sampai jam berapa, Ay?" tanya Nuha yang sedang membersihkan meja kemudian membawa nampan berisi gelas dan piring bekas pelanggan, Alayya menggeleng tidak tahu pasti. "Kata Paman seperti biasa."
"Malam?" Alayya pun tidak tahu pasti, dia memijit pelan kaki yang masih terasa nyeri. "Kak ...."
"Kenapa, ada yang sakit?" Valdrin segera menghampiri Alayya yang masih duduk di kursi kasir. "Tadi Abang kenapa, katanya Kak Nuha sampai ngeluarin busa mulutnya?"
Valdrin menggeleng, akhirnya dia ikut duduk di samping Alayya melihat angkringan lumayan sepi dia bercerita. "Gue nggak tahu pasti yang jelas kata kak Tirta saat dia mau ke UKS, Aegir udah dibopong ke mobil sama pak Asfi dan pak Arifin terus lo tahu tadi penjelasan dokter dan pak Air, 'kan?"
"Kok bisa, ya sekolah kecolongan kasus obat kadaluarsa kayak gitu ... kan bisa fatal," timpal Alayya masih belum percaya. "Nah, nggak tau, Aya kayaknya emang ada orang yang nggak suka sama Aegir terus manfaatin momen ini."
"Nggak suka? Emang Abang ngapain sampai dimusuhi orang?" Valdrin berdecak kesal. "Lha, namanya orang nggak suka ya nggak suka, Ay. Kita nih cuma diam aja kadang di treat salah sama orang yang nggak suka sama kita."
"Lo masih inget, kan waktu Aegir lomba lari di sepatunya ada paku?" Alayya mangut-mangut mengerti, dia juga masih ingat bagaimana dulu saat pulang dari perlombaan mereka hampir saja menabrak truk karena beberapa pria yang hendak menghentikan motornya.
Pikirannya langsung menuju Johan, bukannya dia menuduh Johan melakukan semua ini, tapi tadi dia bawa stuck obat yang kadaluarsa tertera lagi "Expired" siapa tahu Johan yang memesan, kemudian dengan sengaja memasukkannya ke kotak obat di UKS. Waktu itu juga entah mengapa saat abangnya menerima penghargaan dari sekolah karena lomba lari tidak ada dokumentasi sama sekali padahal kata teman-temannya itu tugas dari OSIS. Bukankah Johan ketua OSIS-nya jika ada yang tidak benar harusnya langsung ditegur.
"Ah, tidak-tidak!" Alayya memukul kepalanya sendiri saat memikirkan konspirasi yang menjadi sebab kejadian ini. "Aya!"
Valdrin menurunkan tangan Alayya agar tidak memukul kepalanya sendiri lagi, "Lo kenapa?"
"Aku benci pikiranku, kata Abang nggak boleh nuduh tanpa bukti yang jelas," jawabnya singkat. "Hah?"
Sama sekali Valdrin tidak paham, tapi gadis itu malah memilih pergi meninggalkan Valdrin dengan rasa penasarannya, Alayya ke dapur mengambilkan gelas karena gelasnya sudah habis dan sebagian belum dicuci.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Novela Juvenil"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...