Happy reading_
•••
Ada beberapa manusia yang hanya bisa memaksa, tanpa mau menerima.
—Recaka•••
"Kamu seneng saat tahu pak Air adalah papamu?" tanya Tirta yang fokus mengemudi, sedang di sampingnya ada Alayya yang memainkan ponsel.Begitu Tirta mengajaknya ngobrol, Alayya segera menyimpan benda pipih dengan casing berwarna hitam tersebut.
"Aya nggak tahu harus seneng atau sedih, Kak. Yang jelas Aya pengen Abang sembuh." Gadis itu menerawang jauh ke luar jendela yang transparan.
"Mau sedih pun kenapa, kalau faktanya Bang Aegir sekarang lebih dekat dengan pak Air bahkan saat tidak sadarkan diri Abang meracau kata 'papa' dan pak Air sudah menolong Bang Aegir. Mau seneng pun kayak nggak berguna orang dia nggak tau kalau aku anaknya terus kalau udah tahu nggak ada excited-nya, Kak. Aya udah terbiasa tanpa orang tua, tapi kalau Abang pergi Aya nggak tau apa yang akan terjadi," lanjutnya menunduk.
Satu hal yang berada di pikirannya hanyalah bagaimana Aegir bisa sembuh dan kembali mengingat semuanya, karena Aegir bukan hanya seorang Abang. Namun, orang tua dan dunia bagi Alayya.
Tirta mengerti, seharusnya tadi dia tidak menanyakan hal itu jika pada akhirnya hanya keheningan yang ada.
"Kak, ini foto siapa?" Alayya mengangkat foto ke udara, foto seorang perempuan yang ia ambil diam-diam. Seorang perempuan yang menyipitkan mata ketika tersenyum sampai terlihat merem. "Kenapa? Cantik, ya?"
"Heem, tapi Aya belum pernah lihat dia," jawabnya dengan cepat. "Dia Acheflow, Ay."
Alayya terkejut bukan main, pantas saja Tirta gagal move on orang ketika melihat Acheflow kayak damai aja gitu. Dengan iseng Alayya bertanya, "Kalau aku sama Kak Ache cantik mana?"
Tirta tersenyum sembari mengulurkan tangan, mengusap kepala Alayya pelan. "Dua-duanya."
"Karena kita perempuan?"
Cowok berkacamata itu mengangguk. "Kalian berdua akan selalu cantik di mataku, Ay."
"Tapi Aya nggak suka kata cantik," jelas Alayya dengan bahu yang merosot. "Karena masalah itu?"
Tanpa berkata Tirta pun paham jika gadis itu sebenarnya tidak ingin membahasnya. "Ya udah, bagi Kakak kamu itu manis bahkan madu saja kalah."
"Si manisnya Kak Tirta?" Dia hanya tertawa mendengar hal itu.
Sebelum ke rumahnya, Tirta mengantar Alayya ke rumah untuk mengambil beberapa barang.
Mereka bertemu di rumah lama Aegir, Alayya yang lagi beres-beres sebelum ke rumah Tirta terpaksa harus keluar ketika mendengar suara mobil berhenti.
Hanya pak Airlangga yang turun, sedangkan Aegir tetap di dalam mobil.
"Sebelum Aegir hilang ingatan dia menjagamu, 'kan? Sekarang bapak yang akan menjagamu sampai Aegir sembuh," kata pak Air kemudian menatap Alayya penuh keyakinan, dia merasa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi lagi dia ingin Aegir pulih seperti sedia kala. "Dan siapa tau dengan kamu di sisinya, Aegir bisa pulih dengan cepat."
Alayya menggeleng, bukan niat hati ingin menolak. Namun, dia sudah menyetujui akan tinggal bersama Tirta. Dia melihat Tirta seakan bingung dengan jawaban yang akan ia berikan.
"Kamu mau Aegir cepat sembuh?" tanya Tirta membuat gadis itu mengangguk. "Coba, ikuti kata pak Air."
Bukan tanpa alasan Tirta meminta Alayya untuk ikut bersama pak Airlangga, tapi dia melihat ada sebuah peluang untuk Aegir. Belakangan Tirta juga melihat perubahan dalam diri pak Airlangga. Jadi, agak tenang ketika melepas anak ini kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
أدب المراهقين"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...