Happy reading_
•••
Tidak apa sayap kita mereka patahkan, nanti bisa dijahit lagi.
—Aegir Bhairavi•••
Luwis yang hendak pergi pun mengurungkan niat, dia malah balik masuk rumah dan berniat menutup pintu. Sebelum mendapat apa yang ia mau, pak Airlangga tidak akan beranjak pergi dia mencegah Luwis yang akan menutup rapat pintunya."Setelah sekian lama kita bertemu kembali," ujarnya dengan senyum, berbeda dengan Luwis yang tampaknya tidak senang dengan kehadiran pak Airlangga. "Lu tahu, gua udah cari lo ke mana-mana, tapi hasilnya nihil."
Luwis berdecak, baginya tidak ada waktu untuk membicarakan hal yang tidak penting. "Gua nggak ada waktu," kilahnya memalingkan wajah.
"Gua nggak pernah salah mengenali semua jurus dan strategi lu dalam silat." Saat mengatakan hal itu, pandangan Luwis tertuju pada Aegir karena hanya dialah yang mewarisi jurus dan strategi silatnya. "Kenapa?"
"Ayolah, lu masih sama! Gua cuma pengen tahu di mana Anggita? Di mana lu nyembunyiin dia!" terka pak Airlangga serius, Luwis tersenyum sumbang. "Lu udah buang dia, ngapain lu nyari dia lagi setelah sekian lama."
Pak Airlangga kalah telak, dia kehabisan bahan untuk menyanggah perkataan Luwis karena dia sekarang sadar bahwa apa yang dilakukan di masa lalu sangat menyakiti wanitanya. Namun, sekarang ia sudah berubah.
"G—ua udah nggak kayak dulu ...," lirihnya dengan ragu. "Kenapa baru sekarang lu datang? Di mana diri lu saat dulu Anggita membutuhkan lu!!"
Aegir dan Alayya masih di sana menjadi saksi perdebatan mereka, keduanya tidak ikut campur. Namun, selama tidak disuruh pergi keduanya tidak akan pergi.
"Apa mereka anak-anak Anggita?" Tunjuk pak Airlangga secara gamblang pada Aegir dan Alayya, membuat kedua kakak beradik itu terkejut bukan main. "Lu nyari istri dan anak-anak lu, kan?"
Pria dengan jas kebesaran berwarna hitam itu mengangguk, sudah belasan tahun dia mencari keluarganya.
"Sejak lu buang, Anggita depresi sekarang dia udah mati karena bunuh diri dengan membawa anak terakhir lu," cerita Luwis, membuat Aegir penasaran dengan siapa Anggita? Lalu mengapa pamannya mengenal pak Airlangga apa hubungan di antara mereka.
Pak Airlangga membeku di tempat, hampir kehilangan keseimbangan. Wanita yang ia cari, ternyata sudah meninggalkan bumi pertiwi ini lebih dulu.
"K—apan itu terjadi?" tanyanya seakan kehilangan separuh ruh dalam jiwa. "Apa peduli lu sekarang."
"Luwis!"
"Baik, akan gua katakan! Dia meninggal dua bulan setelah kejadian itu," pungkasnya tetap meladeni pak Airlangga. Luwis juga ingin melihat kehancurannya. "Enggak, nggak mungkin! Ryu?"
Luwis tertawa ketika dia menanyakan perihal Ryu, anak pertamanya. "Lu nggak salah nanya ini ke gua? Ryu, anak lu yang pertama? Gua pulang membawa jasad bayi yang masih berusia setahun yang lu hanyutin ke laut, sebenarnya lu manusia atau monster!"
"Lu ngarang cerita!" Luwis menggeleng. "Mau lu percaya apa enggak terserah, tapi itu faktanya! Sudah jangan pernah temui gua lagi!"
Luwis mendorong tubuh pak Airlangga hingga keluar pagar, lalu menguncinya agar pria itu tidak banyak bicara masa bodoh dengan tetangga sekitar yang nanti pasti akan membicarakannya bukankah itu sudah menjadi makanannya sehari-hari.
"Luwis buka! Lu harus jelasin semuanya!" teriak pak Airlangga seperti orang yang kesetanan, tapi tidak dengan Luwis yang memilih masuk dan membiarkan pak Airlangga berteriak di luar sepuasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Fiksyen Remaja"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...