Happy reading_
•••
Tidak semuanya bisa ditukar dengan uang, salah satunya janji.
—Aegir Bhairavi•••
Seorang pemuda sudah berpakaian rapi bersandar di pintu ruangan adiknya, dia melihat benda yang melingkar di tangan kirinya. "Satu jam lagi take off."Aegir memejamkan mata sembari menenangkan diri sebelum menemui Alayya, mungkin ini adalah kali terakhir ia bisa menatap wajah adiknya.
"Abang kok lama?" tanya Alayya yang pagi tadi sudah sadarkan diri, meski begitu kondisinya masih sangat lemah bahkan untuk duduk saja rasanya sangat sulit. "Beli makan tadi."
Laki-laki itu mengambil beberapa kapsul kemudian membantu Alayya minum. "Lo jangan lupa minum obat, ya biar cepet sembuh."
Alayya tersenyum kemudian menjawab, "Selama ada Abang kenapa Aya harus takut kelupaan entar Abang pasti ngingetin Aya."
Aegir tersenyum simpul sembari mengusap kepala Alayya. "Masih sakit, Ay?"
"Sedikit," balasnya tersenyum, dia sangat bersyukur sudah diberi kesempatan untuk mempunyai abang seperti Aegir yang selalu menemaninya kapan pun. "Jangan sakit-sakit lagi."
"Enggak, Aya akan sembuh. Nanti kalau Aya mau nyerah Aya akan ingat kalau Abang selalu pengen Aya sembuh," tuturnya sebelum bercerita. "Aya sayang Abang, Bang Aegir bakal nemenin Aya, 'kan?"
Dia hanya mengangguk kecil, bagaimana bisa di saat-saat seperti ini Aegir malah hendak meninggalkannya. Alayya masih membutuhkannya, tapi keadaan turut menuntut dirinya agar segera beranjak.
Tatapan Aegir begitu dalam melihat Alayya dengan wajah ceria, dia tahu adiknya sedang menahan sakit. Alayya tidak ingin tampak kesakitan di depan abangnya.
"Oh, ya jangan lupa pola makannya dijaga, tetep belajar, dan ...." Sadar apa yang dibicarakan Aegir, Alayya menggeleng. "Aya nggak butuh kalimat itu, Abang. Selama Abang ada bersama Aya semuanya akan beres."
Alayya terkekeh pelan, sedang Aegir hanya tersenyum hambar seakan tidak mempunyai gairah hidup. Berpisah dengan Alayya selama dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Nanti dia pasti akan merindukan gadis manis ini.
"Gue mau pergi, Ay."
Sontak raut wajah Alayya berubah, gadis itu menelisik apa yang sebenarnya terjadi. "Pergi?"
Dia masih sensitif dengan kata 'pergi baginya kata itu seperti monster yang bisa memakannya hidup-hidup.
Aegir memalingkan wajah kemudian berkata, "Lo nggak lihat gue udah rapi begini coba, maksudnya gue mau bertemu sahabat gue sebentar. Boleh?"
Alayya bersyukur lega, setidaknya apa yang ia pikirkan tidak benar adanya. "Boleh lha, ngapain nggak boleh. Emang berapa lama, Bang?"
"Dua jam," jawabnya singkat. Aegir melihat jam tangan, dia seperti dikejar waktu. "Aya, gue boleh peluk elo?"
"Ha? Untuk apa?" Aegir menggeleng. "Nggak papa, boleh?"
Namun, pada akhirnya Alayya mengangguk. Aegir segera memeluknya erat seakan mengisyaratkan itu adalah pelukan terakhirnya.
Tanpa ia sadari kedua mata Aegir sudah basah, tapi segera ia usap. Dia tak mau Alayya curiga.
Di mana pun itu, gue selalu bersama lo, Aya, batin Aegir terasa begitu sesak.
"Gue pergi dulu, ya. Jaga diri baik-baik." Sebelum keluar tidak lupa Aegir mencium kening Alayya sangat lama. "Hati-hati, Abang."
Dengan senyum merekah Alayya melambaikan tangan, gadis itu kemudian memilih membuka ponselnya. Entahlah Aegir meninggalkan ponselnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Teen Fiction"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...