Happy reading_
•••
Aku ingatkan lagi kalau suka cerita happy ending, mending jangan baca chapter ini.
•••
Hanya raganya yang pergi, tidak untuk jiwanya. Dia akan selalu menyertai dalam setiap langkah.
—Asbara Full Team•••
Berbagai menu makanan sudah dihidangkan di atas meja, kelima remaja duduk bersila sembari menikmati ombak yang mengalun indah di depan mata.Mereka berada di salah tempat makan pinggir pantai yang terbuat dari bambu dengan view langsung menghadap pantai dengan segala keindahannya karena jaraknya juga tidak terlalu jauh.
"Habis ini ke Kak Tirta?" tanya Alayya membuat abangnya mengangguk. "Makan dulu, Ay. Perutnya biar nggak kosong."
"Wajah lo kenapa, Jo? Sini makan!" seru Valdrin bergeser sedikit, memberikan Jovan tempat. Namun, cowok yang baru saja menghampiri mereka menggeleng.
Wajahnya setengah kelelahan ditambah rasa cemas dalam dada yang tidak bisa digambarkan dengan jelas. "Gue ke ibuk duluan. Entar kalian nyusul."
"Nggak mau makan dulu?" Dia tetap berpegang teguh pada pendiriannya sembari mengemas barang-barang. "Baru aja gue dikabarin kalau penyakit Kak Tirta kambuh. Gue nyusul Kakak, kalian makan aja nggak papa. Entar gue share lock."
"Kak Tirta?" Mendadak nafsu makan Alayya tiada, sekarang dia hanya ingin memastikan Tirta baik-baik saja.
Alayya menatap Aegir dengan tatapan memohon. "Bang, Aya ikut Kak Jovan, ya?"
"Lho, nggak makan dulu, Ay?" Gadis itu menggeleng pelan. "Nanti Abang bungkusin aja terus bawa ke sana."
Berbeda dengan Jovan yang sudah siap menuju parkiran. "Ya, Bang?"
"Ya udah, hati-hati." Alayya mengangguk, kemudian dengan langkah sedikit terburu-buru agar tidak ketinggalan Jovan.
******
Baik Jovan maupun Alayya masih mematung di pintu utama rumah ibuk, mereka seakan kehilangan kata ketika melihat orang yang mereka sayangi terbaring dengan kesakitan di sofa ruang tamu.
Seorang wanita paruh baya terus mengusap lembut kepala Tirta disertai doa demi doa ia bacakan.
"K—ak Tirta?" Alayya segera menghampiri, kemudian melihat telapak tangan Tirta yang penuh dengan darah. "Kakak?"
Alayya meraih tisu dan membersihkan telapak tangan Tirta dengan hati-hati.
Melihat kehadiran gadis kesayangannya, Tirta berusaha tersenyum dengan menahan rasa sakit yang begitu jelas.
"Uhuk... uhuk... uhuk ...." Setiap kali Tirta batuk disertai darah dia memegang dadanya, sesak terus menyerangnya. "Kak ...."
"Tidak apa, Aya." Tirta menatap mata Alayya yang sudah berkaca-kaca, dia ingin sekali menghapus air matanya. Namun, dia sadar bahkan untuk menahan agar tidak batuk saja dia seperti kehilangan tenaga. "Kakak sakit?"
Pertanyaan bodoh yang Alayya lontarkan membuatnya merutuki diri sendiri, dia membantu Tirta membersihkan bekas darah yang keluar di mulutnya.
"Kalau mau batuk jangan ditahan, Kak. Pasti itu akan sakit," katanya perlahan melepas genggaman tangan Tirta pada pinggiran sofa. "Aya ...."
"Aya di sini, Aya denger kakak," balas Alayya membuat senyum khas Tirta mengembang di bibir pucatnya. "Kamu harus bahagia dengan keluargamu, ya."
"Kak Tirta juga harus bahagia bareng Aya."
KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Teen Fiction"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...