Happy reading_
•••
Lupakan apa yang membuatmu sakit dan berbahagialah dengan sebenar-benarnya bahagia.
—Tirta Amarta•••
Dia hilang ingatan, bukan hilang akal.
—Tirta Amarta
•••
Dia berusaha untuk bangkit, tapi sudah tak bisa rasanya pukulan itu kian lama kian terasa efeknya. Alayya menjangkau tas dan membuka ponsel, untung hari ini dia tak melupakan benda pipih tersebut.Awalnya dia menghubungi Valdrin, tapi tidak kunjung ada jawaban mungkin laki-laki itu masih sibuk di bengkel.
"K—ak Tirta?" katanya menahan sesak saat panggilan tersambung.
Kebetulan Tirta sedang berada di luar, dia sudah rapi dengan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Niatnya sore ini akan menghadiri acara tunangan salah satu sepupunya.
"Iya, Ay. Ada apa?" tanyanya begitu santai seperti biasa, mungkin sekitar tiga menit lagi sudah sampai di lokasi tujuan. "Aya ... sa— Kakak di mana?"
Alayya menutup mulut hampir keceplosan mengatakan sakit. Namun, bukan Tirta namanya jika tidak langsung peka kalau ada yang mengganjal.
"Sa? Sakit? Kamu di mana? Siapa yang sakit? Ay—" Ucapan Tirta terpotong, Alayya menutup sambungan secara sepihak kemudian mengirimkan lokasinya sekarang.
Dia meletakkan ponsel sembarangan, gadis itu memegang salah satu kelopak mata bagian atas yang masih mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
"Pak, langsung puter balik. Ke cafe deket RS!" pinta Tirta tidak bisa tenang, saat tahu ada yang tidak beres. "Hah? Maksudnya? Sebentar lagi kita sudah sampai lho, Den."
Sopir pribadi Tirta sampai heran, sepenting apa alasan di balik Tirta yang kekeuh ingin putar balik dibanding tunangan sepupunya.
Butuh sekitar setengah jam untuk sampai ke lokasi yang Alayya kirimkan, begitu tiba di sana Tirta langsung masuk setelah melihat motor Alayya terparkir.
"Ay, Aya!" panggilnya menggema ke penjuru ruangan, mana matahari sudah tenggelam. Tirta menyalakan lampu dan mencari Alayya ke seluruh ruangan.
"Ya Tuhan, Ay." Tubuhnya sempat membeku melihat seorang gadis yang bersandar di pojok ruangan yang meringkih kesakitan dengan salah satu matanya mengeluarkan air mata dan satu lagi mengeluarkan darah tidak hanya itu kaki dan tangan Alayya tampak lebam berwarna membiru. "Ay?"
"K—kakak?!"
Tirta mengusap air mata Alayya kemudian berkata, "Ayo kita ke rumah sakit."
Di pikiran Tirta saat ini hanya bagaimana Alayya mendapat penanganan secepat mungkin, tapi Alayya menggeleng.
"Alayya nggak bisa, rasanya sakit," tuturnya sembari meremas perut, Tirta celingukan. Sejak ia datang cafe ini cukup sepi.
Baju lengan panjang berwarna putih dengan cepat terkena darah Alayya, dia tak peduli apapun lagi.
"Iya, tahan sebentar saja." Saat tangan Tirta hendak membopong tubuh Alayya, dia mengelak. "Kak, sakit ...."
"Maaf-maaf. Aya ...," lirihnya dengan tatapan sendu, siapa yang tega membuat Alayya seperti ini. Apakah dia tak mempunyai belas kasih. "Aya mati."

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Fiksi Remaja"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...