008 - De Javu

348 39 7
                                    

Happy reading_

•••

Kita itu saudara, sedangkan dia masih pacar. Ikatan pacar bisa saja putus, tapi ikatan saudara nggak akan pernah bisa.
Valdrin Sagara

•••


Pandangan Aegir tertuju ke depan, dia berlari dengan jarak 100 meter. Setidaknya hal itu sudah membuktikan jika dia tidak lemah, seperti apa yang dibilang Johan.

Pak Arifin membuka ponsel lalu membuka fitur stop watch, cukup penasaran dengan kecepatan anak didik baru yang nanti akan menjadi anak bimbingnya.

"Mantap, dengan kaki yang masih sakit saja Aegir hanya membutuhkan waktu 13 detik untuk sampai di finish." Pak Arifin bertepuk tangan diikuti beberapa siswa yang masih di sini, sedang Johan yang merasa gagal merendahkan Aegir keluar lapangan dengan hati dongkol.

Aegir langsung duduk, menyadari kakinya yang kembali terasa nyeri sedang pak Arifin langsung menghampiri dirinya kemudian memeriksa kaki Aegir.

"Luka dalam ini, Gir." Cowok itu mengangguk, pak Arifin dan salah satu anak didiknya memapah Aegir menuju UKS.

"Pelan-pelan, Gir." Serena yang berada di belakang mereka pun was-was sendiri. Meski baru saja mengenal, mereka sudah kenal satu sama lain. Apalagi Serena sendiri pernah satu event dengan Aegir.

"Lain kali jangan dipaksa, risikonya gede." Pak Arifin menyahuti. Aegir hanya mengiyakan dengan menahan nyeri di kedua kakinya.

*****

"Kamu tadi pelajarannya Pak Asfi kenapa diem mulu?" tanya Chana menghampiri Alayya yang masih diam membeku di tempat duduknya, gadis itu terfokus satu arah. "Aya, are you okay?"

"Eh, maaf, Na."

"Kamu kenapa? Ada masalah, coba sini cerita," ujar Chana tersenyum tulus sembari mengusap lengan Alayya.

Tatapannya kini beralih kepada Chana, gadis dengan rambut sepinggang dikuncir itu hampir saja tidak bisa mengedipkan mata.

Ada masalah, coba sini cerita?

Alayya segera menyadarkan diri, "maaf, Na. Aku keluar bentar."

Kelas pun hanya menyisakan Chana yang masih bertanya-tanya ada apa dengan Alayya, perasaan tadi pak Asfi hanya menanyakan apa pekerjaan orang tua dan tadi Alayya cukup lama menjawab jika orang tuanya bekerja di angkringan.

"Apa dia malu, ya sama pekerjaan orang tuanya?" Chana malah berspekulasi sendiri. Tidak ingin memikirkan terlalu jauh, cewek yang saat tersenyum matanya terpejam itu memilih keluar dan menuju kantin, butuh asupan makanan.

Alayya menatap pantulan dirinya di cermin wastafel yang berukuran besar, ada banyak luka yang menyeruak ingin disuarakan. Ada sebuah kenangan yang awalnya tersimpan rapi, kini diporak perandakan hanya karena satu kalimat yang berarti.

"Nggak lo nggak boleh merasa sedih hanya karena ditinggal sama orang yang nggak punya hati itu!"

"Lo kuat, Ay. Lo kuat!"

"Lo masih punya Bang Aegir, Kak Tirta, Kak Jovan, Kak Valdrin sama kak Nuha. Kalau lo nggak mau hidup, setidaknya hiduplah untuk mereka."

Alayya bermonolog sendiri, dia berharap agar kata-kata sederhana itu bisa menguatkan dirinya.

Tangannya terulur mengambil botol minum berwarna hijau yang ia bawa, lalu keluar kamar mandi. Dia sedikit berlari menuju roof top sekolah.

"Gue bisa! Gue bisa! Gue bisa hidup tanpa sahabat, gue bisa!" teriak Alayya menggelegar, untungnya roof top sedang sepi. Jika ramai, mungkin Alayya akan dicap sebagai orang gila.

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang