031 - Gengsi

244 22 38
                                    

Happy reading_

•••

Mereka tidak peduli mau sesakit apa kamu, sehancur apa kamu, dan seberantakan apa dirimu. Mereka selalu berkata, 'Enak ya jadi kamu.'
—Tirta Amarta

•••


Tirta berjalan ke parkiran sendiri, sekolah juga sudah lumayan sepi. Mungkin anak Ekskul lain sudah pulang. Baru saja mau masuk mobil, sebuah tangan menghalangi tindakannya.

"Enak, ya jadi elo! Jadi kesayangan dewan guru, dihormati adik kelas, dan sekarang didukung penuh kakak kelas buat jadi kandidat ketua OSIS," beo seseorang tersenyum miring, Tirta tidak menanggapi dia hanya ingin segera berkunjung ke makam Acheflow. "Sok cupu, padahal suhu!"

"Maumu apa?" sahutnya dingin sembari menatap tajam Johan yang kini bersandar di mobilnya. "Lo mundur!"

Memang benar kakak kelas menunjuk dia menjadi ketua OSIS, meski sebelumnya Tirta tidak ikut kepengurusan OSIS. Namun, mereka melihat kualitas diri dan bagaimana cara Tirta memimpin MPK (Majelis Perwakilan Kelas) selama hampir setahun.

"Aku nggak bakal maju jika kamu nggak nindas mereka," katanya menyilangkan kedua tangan. Tirta cukup miris melihat kerja OSIS setahun ini, mereka hanya menjadikan OSIS sebagai ajang pencari popularitas tanpa ada tugas yang tuntas parahnya Johan sebagai ketua OSIS malah sewenang-wenang dengan jabatannya. "Terserah gue dong."

"Okay, berarti aku maju atau enggak terserahku." Tirta membalikkan perkataan Johan, membuat cowok dengan tahi lalat di dekat mata kirinya itu terkekeh musuhnya sekarang bertambah. Tidak hanya Aegir, Alayya, Valdrin, dan Nuha. Namun, juga Tirta seseorang yang dulu tidak pernah ia anggap sebagai lawan. "Gue akan menang di pemilihan KETOS nanti, ingat itu!"

"Siapapun yang berkualitas pasti yang akan menang," tekad Tirta ingin memperbaiki struktur OSIS yang baginya sudah terlalu miris. "Lo pasti nyesel udah setuju jadi kandidat ketua OSIS."

"Apapun yang berlalu, tidak akan pernah kusesali," ujar Tirta begitu tenang, berbeda dengan Johan yang mati-matian agar tidak terpancing emosi apalagi sekarang banyak yang mendukung Tirta.

Sebelum pergi Johan menatap laki-laki berkacamata itu tajam, cukup memancing emosinya.

Kepergian Johan membuat Tirta tersenyum kecil. "Bocil."

Sebenarnya Tirta kelas dua belas, tapi karena satu dan lain hal dia berhenti setahun jadinya turun kelas.

Tirta hanya menggeleng melihat kelakuan Johan, sebelum masuk mobil dia tidak sengaja mendengar perkataan orang-orang.

"Enak, ya jadi Kak Tirta. Udah sekolah bawa mobil pasti uang jajannya banyak!"

"Iya, sultan tuh! Pasti banyak cewek-cewek cakep kepincut sama Kak Tirta."

Bukan hanya sekali atau dua kali, Tirta sudah sering mendengar kata 'enak, ya jadi kamu' tanpa harus tahu sehancur apa dia, sesakit apa menjadi dirinya, dan seberantakan apa dia jika dihadapkan masalah.

Tidak lupa sebelum ke makam Acheflow Tirta membeli bunga mawar putih, salah satu bunga favorit Acheflow.

"Enak, ya jadi kamu!"

Kalimat itu terus berdengung, seakan tidak ingin berhenti berputar dalam kepalanya. Tirta menaikkan kecepatan mobil agar cepat sampai di tempat tujuan.

Mereka tidak pernah merasakan menjadi dirinya yang harus dituntut serba bisa di semua hal, mengurus bisnis keluarga, menjadi rumah bagi Asbara full team padahal dirinya juga jiwa yang telah lama rapuh.

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang