050 - Dia, Aegir!

228 29 27
                                    

Happy reading_

•••

Ada beberapa alasan yang bisa menyebabkan orang itu berubah.
Recaka

•••


Tirta yang baru saja keluar dari mobil dibuat terkejut dengan kondisi Alayya, dia segera melepas jaketnya kemudian ia gunakan untuk menutupi tubuh Alayya.

"Dia kenapa, Gir?" tanyanya dengan cepat sembari meminta Aegir untuk masuk ke mobil. "Euhm ... tadi Aya kepleset terus kakinya ketumpahan air panas, Kak. Mau gue bawa ke puskesmas, eh lupa puskesmasnya udah berhenti beroperasi. Mau gue bawa pulang terus mau ke rumah sakit."

"Ya udah gue anterin," kata Tirta mengusap pelan kepala Alayya, ada yang mencurigakan kenapa pipinya dan kedua pergelangan tangannya memerah.

Apa cuma perasaanku saja, batin Tirta kemudian masuk mobil.

Alayya dan Aegir di kursi belakang, sedangkan Tirta di kursi pengemudi. Saat ada kesempatan, Aegir menghubungi Ray memintanya agar meninggalkan rumah.

Di sepanjang perjalanan Tirta masih dibuat penasaran apa yang sebenarnya terjadi, kenapa gadis itu juga nampak berantakan.

"Tadi lo mau ke mana, Kak?" tanya Aegir basa-basi agar tidak hening. "Mau ke rumahmu nganterin oleh-oleh dari Lyora."

Cowok itu hanya ber-oh riah, kali ini dia selamat. Aegir tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Tirta tahu apa yang telah terjadi. Pasti akan ada masalah yang berat.

Setelah ditangani dokter Alayya dipindahkan ke ruangan inap, karena kondisinya juga masih lemah.

"Cepat bangun, Aya. Jangan kayak gini," tuturnya mengusap pelan kepala Alayya yang saat ini berbaring di ranjang rumah sakit.

Sejak dipindahkan, Tirta melihat bagaimana Aegir menyayangi adiknya.

Tapi kalau lo mau ngomong apa yang terjadi, gue harap lo nggak usah bangun sekalian, dumel Aegir dalam hati.

Matanya tidak bisa berbohong, ada sorot tidak suka di dalamnya lagi ketika salah tangannya mengusap pelan kepala Alayya tangan yang lainnya mengepal, seperti menahan emosi.

"Aku tinggal sebentar," pamit Tirta sebelum meninggalkan ruangan. Aegir hanya mengangguk.

Jemarinya mulai bergerak, tak lama gadis itu sadarkan diri. Dia mengedarkan pandang yang ia lihat pertama kali adalah abangnya, Aegir. Cowok itu tampak bersedekap seraya memandangnya tak suka.

"Bisa nggak sih lo hidup nggak ngerepotin gue," celetuknya mengembuskan napas kasar. "A—abang ...."

"Abang-abang, buat apa manggil gue abang kalau ternyata lo nggak berguna buat gue," sahutnya mengangkat tangan ke udara. "Ah, nggak. Kalau gue gampar elo terus mati bisa makin repot gue."

"Aya haus. Bisa ambilin minum?" pintanya membuat Aegir menggeleng. "Ambil sendiri, bego. Manja banget!"

"Tangan Aya masih sakit."

"Terus gue harus jadi babu lo gitu?" Aegir tersenyum culas, tidak mau dijadikan babu.

Namun, ketika suara knop pintu terdengar tanpa aba-aba Aegir mengambilkan minum kemudian membantunya.

"Pelan-pelan, Aya," katanya dengan senyum merekah, berbeda dengan tadi.

Aegir duduk di sisi kanan Alayya, sedang Tirta yang baru saja kembali langsung berdiri di sisi kiri ranjang Alayya.

"Kamu nggak papa, Ay?" Gadis itu menggeleng, dia masih belum mengalihkan pandang dari abangnya.

Kenapa perubahan Aegir begitu cepat, antara sendiri dan ada orang lain. "Tadi kata Aegir kamu ketumpahan air panas."

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang