045 - (N)egatif

243 31 16
                                        

Happy reading_

•••

"Jika seluruh dunia mengkhianatimu, maka larilah kepadaku. Kakak akan selalu ada buat kamu."
—Tirta Amarta

•••


"Abang belum ke sini?" tanya Alayya melihat Tirta dan Valdrin yang baru datang membawa makanan untuknya. "Euhm ...."

Wajah keduanya masih kusut, bagaimana tidak semalaman mereka menjaga Alayya. Mereka hanya tidur beberapa jam, itu pun harus bergantian.

"Ada apa, Ay?" Tirta meletakkan sarapan untuknya di meja, kemudian duduk di samping Alayya. "Nggak papa."

Alayya berusaha untuk duduk, dia tidak ingin terus-terusan merepoti orang lain. "Huft ...."

"Kalau punggungnya masih sakit jangan dipaksa, ya." Tirta hendak membantu gadis itu, tapi ia menolak.

Nggak papa dipaksa dikit, biar bisa cepet nyari abang, batin Alayya.

Entah mengapa firasatnya berkata lain, abangnya tidak hanya pergi dua jam. Namun, lebih.

"Aya ...." Begitu namanya terpanggil, gadis itu menoleh pada Valdrin. Ia melihat cowok itu seksama. "Aegir pamit pergi berapa jam?"

"Dua jam, emang kenapa, Kak?" Valdrin menggeleng, cowok dengan kaos hitam yang terbalut jaket itu mengambil piring di meja. "Makan, ya."

"Iya, Kak." Alayya makan hingga habis, tidak ada paksaan semua murni kesadarannya. Dia ingin segera pulih, seperti apa yang di semogakan abangnya.

Selepas sarapan pelan-pelan Tirta memberi tahu Alayya perihal keberadaan abangnya, dia tidak ingin Alayya tahu masalah ini dari orang lain.

"Oh, jadi Abang dapet beasiswa di Kalimantan karena menjadi juara satu lomba lari?" Tirta mengangguk, dia mengarang cerita. Dia tidak mungkin memberi tahu kebenarannya hari ini atau risikonya kondisi Alayya. "Iya, dia nitip kamu ke kita."

"Baguslah!"

Baik Tirta maupun Valdrin terperangah kaget melihat ekspresi Alayya, mereka kira Alayya akan nangis atau sedih. Ini malah terlihat bahagia.

"Hah?"

"Iyalah, dengan begitu kemampuan Abang bisa berkembang. Biar bisa jadi atlit lari profesional." Tidak ada beban sama sekali, bak Alayya langsung mempercayai cerita rekaan mereka. "Lo nggak papa?"

Bahkan Valdrin masih belum mempercayainya, dia menatap gadis itu lekat. Namun, justru senyuman yang ia dapat.

"Nggak papa, kan Abang juga mau belajar di sana. Kalau dengan begitu Abang bisa sukses, Aya nggak boleh egois bukan?" Valdrin tersenyum menanggapi. "Udah pinter sekarang."

"Adiknya Bang Aegir." Mereka terkekeh, berharap jika Alayya akan terus seperti ini. Bersikap dewasa dan berpikiran bijak. "Argrhrg!"

Keduanya langsung mengulurkan tangan. "Ay, lo nggak papa?"

"Kepalamu sakit? Atau pusing?" Tirta memberondong dengan pertanyaan. "Eh, nggak papa cuma nyeri dikit."

"Ya udah dibuat istirahat dulu, gih. Toh, kita mau sekolah lo nggak papa ditinggal sendiri?" Alayya menggeleng. "Di sini banyak orang, Kak. Jangan khawatir."

"Ya udah, pokoknya kalau ada apa-apa langsung tekan bel kalau nggak gitu hubungi kita, ya," saran Tirta membantu Alayya berbaring, dia mengusap kepalanya pelan. "Get well soon, Aya."

*****

Sudah seminggu Alayya di rumah sakit, kondisinya semakin baik. Namun, tiada hari tanpa memikirkan Aegir.

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang