Happy reading_
•••
Sama Aya tuh gampang banget sayangnya.
—Valdrin Sagara•••
"Sepatu?" sahut Aegir dengan cepat, Tirta mengiyakan. "Besok akan ketemu."Tiga kata dari Tirta yang membuat keempat remaja itu kompak membulatkan mata, apa maksudnya?
Mereka tahu Tirta bisa mengatasi sendiri, tapi untuk secepat ini rasanya ... Valdrin menyahut, "Maksudnya?"
"Pelakunya akan aku temui besok di belakang sekolah," kata Tirta membuat Nuha tak percaya. "Lha emangnya lo tau siapa pelakunya, Kak?"
"Belum," sahutnya kemudian bergegas untuk pulang. "Aku pergi dulu, ada urusan!"
Tidak ada yang menahan atau mencegah, karena tahu siapa Tirta Amarta yang sebenarnya, dia tidak akan menuduh tanpa bukti atau bertindak secara gegabah.
Setelah kepergiannya Aegir membangunkan Alayya karena mereka juga akan pulang, terlalu repot nanti jika Alayya tetap tidur.
"Ayok pulang!" rengeknya masih mengumpulkan nyawa. "Iya, Bubble. Ayo!"
Mereka ke parkiran bersama-sama sedang Valdrin paling akhir, dia harus mengambil barang yang ketinggalan di kelas.
"Gir!" panggil Valdrin membuat langkah mereka berhenti, Valdrin sedikit mempercepat langkah. "Boleh gue ajak Aya ke peresmian store barunya uncle."
"Store baru?" Aegir mengerutkan kening, karena ini baru pertama kali Valdrin mengajak Alayya ke keluarganya. "Iya, pembukaan di depan store-nya nggak sampai malam kok paling jam tujuh udah pulang."
"Tanya aja sama anaknya langsung," pungkas Aegir berjalan ke motor, kemudian menyalakan mesin kendaraan. Nuha dan Jovan sudah bablas duluan, entahlah tadi kata keduanya mau balapan. "Gimana, Ay?"
"Aya nggak mood," jawabnya singkat dengan mata yang masih sembab. "Ya, siapa tahu dengan lo ikut gue di sana lo nggak sedih lagi."
Alayya tampak berpikir sejenak, sebelum mengiyakan ajakan Valdrin. Hatinya cukup lega ketika Alayya setuju.
"Entar gue jemput jam tiga, okay!" Alayya mengangguk seraya naik ke motor abangnya, dia melambaikan tangan ke Valdrin ketika motornya melesat.
"Thanks god."
*****
Padahal jam sudah menunjukkan pukul 14.45 itu artinya lima belas menit lagi Valdrin akan menjemputnya, tapi yang dilakukan Alayya saat ini malah bengong dengan menatap pantulan diri di cermin. Antara jadi pergi atau tidak.
Sebenarnya tadi dia sadar atau tidak saat mengiyakan ajakan Valdrin, dia saja kadang sulit ketemu orang baru ini malah nyasar ke keluarga Valdrin yang notabene-nya tidak pernah ia temui sebelumnya.
Dia juga bingung kalau acaranya peresmian, nanti baju apa yang akan ia pakai mana tidak punya baju feminim lagi. Bagaimana mau punya baju feminim jika yang ngasuh dari kecil adalah seorang laki-laki.
"Tau lha." Akhirnya ia kesal sendiri, mencoba membuka lemari dan memilih baju yang sopan.
Sebuah jeans berwarna biru langit yang ia padukan dengan kaos oblong bewarna hitam dan kemeja polos berwarna biru tua, semuanya sudah ada di kasur tinggal nyari tas untuk tempat ponsel.
Kebetulan Alayya melihat tas selempang Aegir yang tergantung di balik pintu, dia menyabetnya. "Untung nih selempang unisex jadi nggak kelihatan kalau punya Abang."

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Genç Kurgu"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...