062. Sea and Sky

262 29 10
                                        

Happy reading_

•••
Tidak semua masalah bisa dinilai dari satu sudut pandang, ada kalanya kita harus melihat dari sudut pandang yang lain.
—Tirta Amarta
•••


"Nggak bisa, Kak. Nih orang bahaya banget buat Aya! Lo tahu sendiri bagaimana dia tega buat nyiksa Aya!" kesal Valdrin memandang Aegir dengan tatapan tajam, berbeda dengan Aegir yang hanya menggelengkan kepala.

"Gue nggak tahu di mana dia, atas dasar apa lo nuduh gue nyulik Alayya ... gue saja muak liat mukanya," jawab Aegir dengan nada datar, kemudian berjalan masuk rumah. "Woi! Nggak usah ngehindar, jawab dulu, lo dari mana anjing!"

"Valdrin, bisa gunakan bahasa yang lebih sopan." Pak Air mengingatkan kala bahasa Valdrin sudah kelewatan. "Kenapa? Apa pantas bahasa sopan untuk orang yang nggak punya rasa kemanusiaan, kalian sama saja pengen buat gadis itu tersiksa."

"Tenang dulu, nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan emosi. Kita tanya Aegir baik-baik karena dia sendiri hanya izin ke rumah temannya ... kalau sikap kamu kayak gini gimana kita bisa tahu jawaban Aegir," tutur pak Air berusaha meredam kemarahan Valdrin, bagaimana pun juga dia anak didiknya dan Aegir putranya. "Val, bener yang dikatakan Pak Air, tenang dulu jangan gegabah!"

"Nggak, gue nggak bisa tenang sebelum mastiin Aya baik-baik saja. Kalau mereka nggak mau kasih tahu keberadaan Aya ... okay, kita bisa cari sendiri. Ayo, Kak. Kita pergi daripada denger alasan mereka!" kesal cowok berbola mata coklat terang sembari mengambil motornya, sedang Tirta masih meminta maaf atas kelancangan Valdrin dalam bersikap dan bertutur kata.

"Sudah, tidak apa-apa, Ta. Lagian wajar kalau Valdrin sangat khawatir. Nanti setelah dapat jawaban Aegir saya kabari," ucap pak Air sembari tersenyum. "Makasih, Pak. Saya pamit dulu."

Tirta menyusul Valdrin yang sudah berkendara duluan. Satu hal yang ia kagumi dari pak Air, meski satu sisi dia kehilangan sosok Aegir. Namun, di sisi lain setelah Aegir tinggal bersamanya banyak sekali perubahan yang terlihat, bahkan sikap lebih baik di sekolah sekarang lebih baik dari yang dulu.

Kini Tirta paham kata, 'jangan lihat sesuatu hanya dari satu sisi saja' karena di sisi lain sesuatu akan terlihat berbeda.

Kedatangan Valdrin dan Tirta membuatnya khawatir ditambah kejadian-kejadian belakangan ini, Aegir terus menyiksa Alayya. Meski percaya pada putranya tetap saja pak Air tidak tenang sebelum mendengar jawaban dari Aegir secara langsung.

*****

Seorang cowok menyugar rambut yang masih basah di depan cermin, dia mengeringkannya dengan handuk kemudian mengenakan kaos berwarna putih.

Laki-laki itu nampak lebih segar dari sebelumnya. Di memainkan gawai sebentar sebelum beralih mengambil tas dan sepatu. Rencananya Aegir akan balik ke rumah lama, dia khawatir mereka menemukan Alayya atau Alayya sudah bangun, karena dia sendiri tidak tahu sampai kapan gadis itu akan tidur dalam pengaruh obat yang ia berikan.

"Kamu mau ke mana lagi, Ryu?" Pak Air memergoki Aegir yang tampak rapi dengan menenteng sepatu bewarna putihnya, sedang ia menutup pintu. "Mau main sama temen, Pa."

"Kamu nggak ikut bantuin mereka? Alayya hilang." Aegir menggeleng. "Aku nggak ada hubungan lagi sama Aya, ikatan persaudaraan di antara sudah tidak ada. Sekarang dia bukan siapa-siapa."

"Jangan seperti itu, dia sepupumu. Sudah sepantasnya kamu ikut mencari," kata pak Air mencoba membujuk Aegir. "Tidak, Pa. Papa ingat, 'kan yang aku ceritain mengenai paman Luwis? Kuharap Papa tidak lupa jika dulu bapaknya selalu menyiksaku."

Aegir mencari alibi agar tidak dipaksa membantu asbara full team dalam pencarian Alayya atau semua bisa kacau.

"Ryu ...."

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang