Happy reading_
•
••
Semakin tinggi lo berharap, bisa jadi semakin dalam luka yang akan lo terima.
—Aegir Bhairavi.•••
"Iya, saya bisa saja memanggil orang tua kamu ke sini biar mereka lihat bagaimana kelakuan anaknya!" selorohnya membenarkan kerah jas bewarna hitam tersebut.Aegir terkekeh. "Tidak perlu memanggil, saya orang tuanya."
Kompak pak Airlangga dan bu Cantika membulatkan mata, tidak percaya dengan perkataan Aegir.
Mana bisa seorang anak yang baru saja menginjak bangku SMA menjadi orang tua untuk remaja sebaya dengannya.
Dengan jeolus pak Airlangga berkata, "Bagaimana bisa kamu menjadi orang tuanya? Jangan ngaco!"
Keduanya terkekeh, baru kali ini ada seseorang yang mengaku menjadi orang tua untuk temannya. Sungguh kejadian yang langka.
"Nah, itu, Pak. Sepertinya ananda Aegir dan ananda Alayya sepasang kekasih, lagi bela ayangnya nih," goda bu Cantika merasa gemas dengan dunia remaja sekarang.
"Mungkin biar orang tua ceweknya nggak dipanggil," sahut pak Airlangga masih dengan tawa renyahnya. "Sadar kalian itu masih kecil, jangan gitu lain kali."
Bu Cantika mengangguk, setuju dengan ucapan pak Airlangga
"Kenapa? Apakah salah saya menjadi orang tuanya? Satu lagi, apa seperti ini cara bersikap seorang pria yang katanya sudah lulus S2?" Sontak pak Airlangga diam mendengar Aegir menuturkan kata.
"Dengan merendahkan, bukannya semakin tinggi Anda malah semakin rendah. Kenapa? Karena pada dasarnya yang merendahkan justru lebih rendah," tambahnya membuat pak Airlangga murka, dia sampai menggebrak meja. "Bahkan untuk menghentikan mulut anak SMA seperti saya, Anda tidak bisa!"
Aegir sama sekali tidak menggunakan nada tinggi, tapi setiap kata yang keluar langsung masuk di hati. Bu Cantika menggeleng.
"Kamu bisa sopan?"
"Bisa, tapi untuk apa? Untuk manusia yang suka merendahkan manusia lainnya?" Bu Cantika berdeham.
Beberapa detik ruangan senyap, ada emosi yang mencoba diredam dan ada sebuah kata yang ditahan di kerongkongan agar tidak kelewat batas.
"Cihh, anak sama bapak sama aja. Gampang kepancing emosi!" bisik Valdrin pelan, tidak ingin memperkeruh suasana. "Tau, mana haus jabatan!"
"Hah? Iyakah?" Valdrin tidak percaya.
"Maybe, lihat gayanya aja selangit, tapi bad attitude. Lha masih mending gue, nggak ...." Nuha menghentikan ucapan ketika bu Cantika menyuruh diam.
Bu Cantika tiba-tiba teringat sesuatu. "Sebentar, kalian ... adik kakak itu, 'kan yang kolom nama orang tua atau wali kosong di berkas pendaftaran?"
Mereka diam, bahu Alayya merosot dia tahu apa yang akan dilakukan wanita di depannya. Dia memilih untuk diam, daripada nanti dimarahi kakaknya karena menyela perkataan orang.
"Kosong?"
"Iya, Pak. Awalnya kosong, tapi sudah diisi kembali," timpalnya membuat pak Airlangga tersenyum miring. "Pantes, nggak bisa jaga ucapan! ANAK HARAM ternyata. Dari tadi kayak berandal, nggak dapet didikan!"
Brak!
"Atas dasar apa lo bisa ngomong kayak gitu!" kesal Jovan sampai berdiri, dia tidak terima pak Airlangga mengatakan hal buruk mengenai Aegir dan Alayya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RECAKA [END]
Teen Fiction"Syarat hidup cuma satu, Ay." -Aegir Bhairavi. "Apa, Bang?" -Alayya Nalani. "Bernafas." -Aegir Bhairavi. Mereka kakak beradik yang tidak pernah tahu keberadaan orang tua dan dijadikan mesin penghasil uang pamannya. Melodi lautan dan ketenangan langi...