Epilog - Raden

7.4K 273 0
                                    

Langit senja hari ini, entah kenapa terasa berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit senja hari ini, entah kenapa terasa berbeda. Terlihat lebih indah juga terasa lebih hangat dari senja hari kemarin. Seulas senyum terukir kala sinar itu memenuhi seluruh wajahnya.

"Kenapa lama?"

Tak menjawab pertanyaan yang diberi, ia malah mengeluarkan sebuah cincin yang baru saja ia buat dari dedaunan. Cincin yang semula ia sembunyikan di balik tubuhnya. Dan ini berhasil membuat sebuah kernyitan terukir di kening gadis kecil dengan pita di rambutnya itu.

"Senja, Io mau Senja nikah sama Io."

"Kita masih kecil, Io. Pacaran aja gak boleh, apalagi nikah," ucapnya seraya berdecak.

Io terkekeh, lalu meraih tangan Senja dengan perlahan. Memasangkan cincin itu kemudian. "Maksud Io itu nanti, kalau kita udah gede."

Senja menatap lebih dulu cincin yang ternyata begitu pas terpasang di jarinya. Beberapa detik kemudian ia beralih menatap Io. "Kenapa aku harus nikah sama kamu? Kalau aku mau nikah sama yang lain, gimana?"

Wajah Io nampak tertekuk. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Gak boleh! Senja harus nikah sama Io!"

"Kita harus sama-sama selama nya."

Senja tersenyum dan kemudian mencoba menatap mata Io. "Iya, iya. Senja juga mau selama nya sama Io. Nanti kalau kita udah besar, kamu harus datang ke rumah Senja, ya!"

Io menoleh cepat dengan jari kelingkingnya yang terangkat. "Janji."

Senja ikut mengangkat jari kelingkingnya dan kemudian menautkan nya dengan jari kelingking milik Io. "Janji."

Raden tersenyum, ia ingat dengan benar kejadian itu. Saat dengan polos nya ia mencoba melamar seseorang yang bahkan baru ia kenal beberapa hari. Gadis kecil cantik yang selalu memergoki nya saat tengah menangis, pemilik mata indah saat menatap senja sore hari, juga sang pemberi pelukan hangat kala cerita menyakitkan tengah Raden bicarakan pada bulan purnama di atas langit malam.

Meski rasanya tak mungkin perkataan-perkataan yang jika orang dewasa dengar sebagai omong kosong itu terjadi, meski rencana dan perjanjian antara dua manusia itu terlalu mustahil untuk menjadi sebuah kenyataan, tetap, hanya Tuhan lah yang bisa menentukan dan menakdirkan.

Raden percaya jika semesta bekerja dibawah tangan Tuhan. Pertemuan nya saat kecil dengan Aneska bukan hanya suatu hal kebetulan saja.

Tapi, mereka memang sudah ditakdirkan.

"An."

Aneska yang semula tengah menikmati pemandangan indah kala senja datang itu beralih menatap Raden. "Ya?"

Raden menghela napas lebih dulu. "Tempat ini, tempat pertama kali kita ketemu."

Aneska tersenyum mendengarnya. Puluhan kenangan berlarian di dalam kepalanya saat mengingat hal itu. Di villa ini, terlalu banyak kenangan yang tercipta walau dengan waktu yang begitu sedikit. Tetap sama, semua nya begitu indah.

"Iya. Senja, ketemu sama Io yang cengeng, jahil, menyebalkan dan sedikit menakutkan."

Raden membalas senyuman itu. Menatap wajah Aneska dengan lekat sebelum akhirnya ia memeluk Aneska cukup erat.

"An," panggil Raden penuh akan makna.

Namun Aneska malah kembali mengernyitkan keningnya. Ia melepas pelukan Raden dan menatap wajahnya cukup lama.

"Aku mau-"

"No!" Potong Aneska cepat seraya bergidik ngeri begitu melihat raut wajah Raden. Ia lalu melangkah untuk duduk di atas kasur king size yang ada di kamar ini.

Raden dengan cepat menyusul Aneska, juga ikut duduk di samping gadis yang tengah menahan takut itu. "Tapi kali ini, kamu gak bisa lari, An," bisik Raden membuat Aneska menelan salivanya dengan susah payah.

Suara berat Raden yang begitu memasuki indera pendengaran nya, seperti berhasil membuat seluruh tubuhnya mati rasa. Tubuh Aneska terasa kaku bahkan saat Raden menarik dagunya perlahan.

Tatapan mereka beradu. Saat kemudian Raden menurunkan pandangan nya dan Aneska memejamkan matanya.

Tepat saat itu, bibir mereka saling bertaut. Aneska balas lumatan Raden yang begitu memabukkan. Bahkan kedua nya saling bertukar saliva satu sama lain. Dan waktu terasa berhenti cukup lama saat ini.

Raden kemudian menarik tubuh Aneska dan semakin mengikis jarak di antara kedua nya.

Beberapa saat setelah nya, Aneska rasa sesak karena kehabisan oksigen. Ia mencoba mendorong dada bidang Raden untuk menghentikannya.

"Raden."

Raden menyeringai, ia mendorong perlahan tubuh Aneska. Menatap wajah nya dari atas.

"No, Raden. Aku belum siap," lirih Aneska dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.

Raden menyelipkan lebih dulu anak rambut Aneska yang menghalangi wajah itu. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Aneska untuk berbisik.

"Enggak, An. Malam ini, kamu akan jadi milik aku. Seutuhnya."

- 🦋 -

RadenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang