1

685 35 12
                                    

Sebuah mobil sport merah gelap berlogo kuda melesat cepat membelah jalanan ibukota di pagi hari menjelang siang. Sosok pria di balik kemudi bersenandung kecil mengikuti lantunan lirik lagu country yang ia dengar. Jari-jemarinya bergerak. Mengetuk-ngetuk kecil pada permukaan lingkaran stir.

Sepuluh menit berselang, sepasang matanya yang terbungkus kacamata hitam sedikit melirik pada kaca spion luar sebelum kemudian membelokkan arah kemudi ke sebuah bangunan besar dan bertingkat di seberang.

Focus.Point

Salah satu store kamera terbesar dan terlengkap di ibukota dan selalu menjadi tujuan utama para pecinta fotografi, termasuk dirinya.

Richard memberhentikan mobilnya di area parkir dengan benar. Mematikan mesin, meloloskan sabuk pengaman dan lalu keluar dari kabin seraya melepas kacamatanya. Menyelipkan benda itu di ujung barisan kancing kemeja motif kotak-kotaknya yang dua kancing teratasnya dibiarkannya terbuka.

Di satu tangan, Richard menenteng kamera kesayangannya yang hendak mendapatkan care service karena beberapa hari lalu ia membawanya ke pantai. Banyak butiran pasir pantai hinggap di badan kamera, juga lensanya. Ia sedang malas membersihkannya sendiri karena beban pekerjaan yang memenuhi kepalanya dan berimbas pada fisik maupun suasana hatinya.

Terus berjalan mantap menyusuri basement menuju elevator yang akan membawanya ke lantai atas, Richard sejenak disibukkan memeriksa beberapa panggilan dan pesan sampai langkahnya berhasil masuk ke dalam kotak besi. Membuat perhatiannya terbagi antara kamera di tangan kiri dan ponsel di tangan kanan.

Saat tiba di lantai yang dituju, Richard kembali meneruskan langkah. Mengayunkan kakinya santai menuju salah satu ruang berpintu tunggal dengan pandangan masih sedikit turun, menatap layar ponsel, hingga pada akhirnya ...

BUGH!

Debum benda terjatuh menghentikan paksa ayunan kakinya. Perlahan Richard menggeser bola matanya pada sumber suara dan seketika mengencangkan sudut wajah sementara tangan kanannya bergerak menyimpan ponsel ke dalam saku celana.

Sorot mata biru Richard berkilat-kilat. Menatap ngeri kamera kesayangannya yang telah berpindah dari tangan ke lantai berkeramik putih mengilap dengan badan kamera dan lensa dalam kondisi terpisah.

It's impossible!

Richard mengangkat pandangan. Detik itu juga, tepat di hadapannya, ia menemukan sosok gadis belia berdiri gemetar dengan raut ketakutan di bawah sorot tajam manik birunya.

"M-maaf." Gadis itu mencicit dengan suara lirih yang ampuh membelai indera pendengaran. "S-saya tidak sengaja menyenggol lengan A-anda," lanjutnya terbata-bata. Melemaskan bibir berusaha tersenyum. Pun memamerkan raut polos dengan maksud menutupi ketegangan di wajahnya meski tetap saja terpancar sangat jelas.

Tatapan manik biru itu sangat mengintimidasi. Gadis itu bersumpah pada dirinya sendiri di dalam hati bahwa ia tidak akan kuat menatap mata itu terlalu lama, atau berakhir kehilangan detak jantungnya.

Richard menyentak napas kesal. "Lalu?"

"L-lalu?" ulang si gadis tak mengerti. Fokus bola mata itu membuyar.

"Apa dengan meminta maaf kameraku bisa kembali utuh, heh?" tanya Richard tanpa mengurangi kadar sorot kemarahan pada gadis itu. "Bagaimana bisa kau tidak melihat orang sebesar diriku? Apa yang sebenarnya kau perhatikan? Gadis ceroboh!" makinya beruntun kemudian.

Tentu Richard sangat marah. Kamera itu menemaninya sejak duduk di bangku sekolah menengah. Pun mengenalkannya pada dunia fotografi untuk pertama kalinya. Sejak bertahun-tahun yang lalu. Terlepas dari fitur 'jaman dulu'nya, kamera itu tentu saja sangat berharga.

Kena Kau, Gadis Kecil!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang