72

83 4 0
                                    

Luciana melepas kedua sarung tangannya demi bisa meraih gelas tebal berisikan cokelat panas yang tersaji di hadapannya. Rasa hangat seketika mengaliri seluruh saraf ditubuhnya begitu cairan itu masuk melalui tenggorokan.

"Cokelatnya lumayan, Kay!" Luciana berkomentar seusai menyimpan gelas itu di atas meja, tanpa berniat melepas sepasang tangannya yang melingkari badan gelas. "Darimana kau tahu tentang cafe ini?" lanjutnya bertanya. Bola matanya sibuk kesana-kemari. Memindai interior tiap sudut ruangan yang tergolong unik.

"Aku melihatnya di media sosial. Pun teman-teman fakultas merekomendasikan lokasi baru ini sebagai tempat hang-out, selain DaVinci. Bagaimana bisa kau tidak tahu apa-apa, Luciana? Aku yakin banyak mahasiswa kampus kita mengetahuinya." Mikayla mendecakkan lidah. Merasa heran dengan sahabatnya satu ini.

"Grand openingnya baru satu minggu-an lalu. Untuk itu aku mengajakmu karena masih dalam mode promosi," tambah Mikayla diakhiri cengiran kuda.

Luciana memutar bola matanya.

"Apa kau tidak menyimak grup anak-anak fakultasmu? Cafe ini sedang menjadi trending topic, Lue! Oh God!" cerocos Mikayla. Merasa gemas. Lantas menyeruput cokelat miliknya sendiri.

"Ponselku masih belum kembali!" jawab Luciana langsung dan apa adanya. Menciumi aroma cairan cokelatnya yang masih mengeluarkan uap hangat dari bibir gelas.

Kepala Mikayla terangguk-angguk pelan. "Kau bisa membeli ponsel baru, 'kan? Kau pernah menerima bayaran mahal sebagai model Kanz's Eyeglasses, Luciana! Oh My God! Kenapa aku baru mengingatnya!" Mendramatisir nada suaranya di kalimat terakhir.

Di tempatnya duduk, Luciana terlihat menghela napas panjangnya. Ya... Seharusnya Luciana memang tidak perlu pusing memikirkan bagaimana cara mengembalikan uang ayahnya yang ia pakai untuk membayar ganti rugi kamera Richard walau akan menguras isi tabungannya.

"Jangan mengandalkan ponsel pinjaman milik kakak menyebalkanmu terlalu lama, Luciana! Berhati-hatilah-"

"Maksudmu?" sahut Luciana cepat. Keningnya mengerut penuh tanda tanya.

Satu sudut bibir Mikayla tertarik ke atas. Sahabatnya satu ini benar-benar sangat polos. Astaga!

"Mikayla!" tekan Luciana, melihat gadis itu hanya tersenyum-senyum seperti orang tidak waras. "Answer me!"

"Berhati-hatilah pada Lui, Dear! Siapa tahu lelaki itu meminta bayaran atas ponsel yang dipinjamkannya padamu-"

"Sialan!" Luciana refleks memukul meja dengan satu kepalan tangannya, bersamaan satu kata itu muncul dari mulutnya.

Oh! Hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Tabungannya akan ludes jika lelaki itu benar-benar menagihnya suatu saat nanti.

Ck! Seharusnya Luciana paham. Lui dengan manisnya meminjamkan satu ponsel padanya setelah ia beralibi bahwa tas segala isinya tertinggal di RPS kala Richard memukulnya di area cafeteria.

Pun lelaki itu tidak mau mengantarnya ke RPS untuk mengambil barang tersebut. Lui katakan dengan tegas jika itu menjadi urusan Luciana sendiri. Kakak macam apa sebenarnya laki-laki itu!

Jikalau sampai apa yang diucapkan Mikayla terbukti, ia akan menendang pantat lelaki itu! Begitu tega memeras adiknya sendiri! Oh, Tuhan! Sepertinya akan lebih baik jika tas itu tetap berada di sana, tapi...

"Aku tahu Lui tidak mengizinkanmu menemui Richard. Aku bersedia mengantarmu ke RPS-"

"Tidak, Kay!" potong Luciana. "Tidak untuk saat ini!" Mendesah bingung memikirkan itu semua. Ayah dan kakaknya sengaja bersekutu untuk membuatnya frustrasi seperti ini.

Kena Kau, Gadis Kecil!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang