47

75 3 0
                                    

Kepala Luciana bergerak gelisah ke kanan-kiri. Keringat bercucuran di sudut pelipisnya. Sungguh, Luciana terlihat tak berdaya. Kulit wajah yang pucat, bibir yang terus bergetar hingga menyuarakan racauan tidak jelas. Mata itu masih terpejam, namun melelehkan cairan bening yang hangat.

"Mom... Maafkan aku!"

"Dad, please... Jangan menghukumku!"

"Aku tidak berniat melawanmu."

"Please....!"

"Aku tahu kau mencintaiku!"

Racauan Luciana yang entah sudah ke berapa kalinya kembali membangunkan Ava yang tertidur di tepian ranjang pasien. Wanita itu menegakkan kepala, melirikkan matanya pada tiang infus di mana botol berisikan cairan penurun demam menggantung.

Beberapa jam setelah mendapatkan perawatan, suhu tubuh Luciana sedikit menurun meski belum terlalu signifikan.

"Luciana, bangunlah! Buka matamu, Sweetheart!" Ava menepuk-nepuk pelan kedua pipi Luciana yang masih saja melenguh-menahan rasa sakit.

Tak ada respon. Namun sentuhan tangan Ava berhasil membuat Luciana kembali tertidur tenang.

Ya, selalu seperti itu hingga hari memasuki malam dan cairan berganti cairan intravena. Dengan setia, Ava menunggu Luciana. Menyerahkan tugas sebagai kepala panti kepada orang lain yang cukup dipercaya untuk sementara waktu. Atau sampai Luciana dapat menjalani rawat jalan.

***

"Kau mau minum?"

Luciana merespon pertanyaan Ava dengan anggukan singkat. Pandangannya lurus pada layar televisi, namun tatapan itu tak mengartikan apapun, selain kosong.

Posisi kepala ranjang yang setengah menegak cukup memudahkannya meminum sedikit air yang diberikan Ava melalui bibir gelas.

Air mata itu kembali menitik ketika tanpa sengaja kepalanya mengingat momen di mana ia tidur di ranjang rumah sakit bersama Richard. Pria itu begitu manis. Membuatnya percaya dengan semua perkataannya. Namun kini semua berubah dalam sekejap.

Oh, apa yang bisa ia harapkan sekarang?

Sesakit inikah mencintai?

Akan seterluka inikah patah hati?

Jelas-jelas Luciana kalah telak jika dibandingkan dengan wanita yang Richard rengkuh dengan begitu mesra. Wanita itu...sempurna. Wanita itu melukiskan segala keindahan yang diidamkan para lelaki.

Bahkan semua orang bilang jika itu menjadi kemesraan pertama seorang Richard pada sosok wanita yang dipertontonkan secara terbuka selama mereka bekerja dengan pria itu.

Jika saja Luciana tahu Richard telah memiliki pelabuhan hati selama ini, tentu ia akan menahan diri agar rasa itu tidak muncul.

"Dad...." Luciana menangis saat memanggilnya.

Apa kini Luciana menyesal karena telah memilih keputusannya sendiri? Hingga membuatnya berakhir seperti ini?

Tidak! Luciana tidak menyesal ketika memilih masa depannya sendiri. Yang ia sesali kenapa ia mengiyakan begitu saja permintaan Stella untuk segera berfoto bersama Jonathan sebelum anak laki-laki itu pergi meninggalkan Emeraude.

Pun Luciana tidak harus ke Focus.Point. Bukankah ia bisa meminjam kamera milik Mikayla? Atau datang ke store kamera itu tepat di hari kepergian Jonathan yang adalah sehari pasca-kejadian menyebalkan itu?

Aarrgghh!

"Apa aku perlu memberitahu mereka jika kau sakit, Lue?"

Luciana menggelengkan kepala seiring tangannya mengusap lelehan air matanya di pipi. "Jangan, Bibi. Dad akan menyalahkanku atas keadaanku sekarang," tukasnya pelan. "Itu hanya akan menambah beban kepalaku. Lagipula aku hanya demam dan sudah merasa lebih baik." Tersenyum lemah.

Kena Kau, Gadis Kecil!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang