Luciana mengusap perutnya yang terasa kenyang. Menu steak daging, semangkuk salad sayur, dan segelas jus alpukat di hadapannya telah habis. Semua isinya berpindah ke dalam lambungnya dan ia senang karena semua ini gratis.
"Aku bisa menghemat isi dompet. Astaga, mimpi apa aku semalam bisa makan enak dan gratis seperti ini," kata Luciana pada diri sendiri. Mengemasi ponsel dan dompet, lalu bersiap beranjak dari cafeteria.
Lebih dari 30 menit Luciana menunggu sosok Richard yang katanya akan menyusul ke cafeteria setelah ajakannya melalui pesan singkat aplikasi hijau, namun pria dewasa itu tak kunjung datang. Menu makan siang yang ia pesan telah tersaji dan ia tak mampu menahan lapar lebih lama lagi, hingga berakhir menyantapnya seorang diri.
Biarkan pria itu makan sendiri nanti. Masa bodoh!
Luciana mengayunkan kakinya menuju pintu keluar, namun seruan seseorang memaksanya menghentikan langkah.
"Nona Luciana! Kau harus membayar makan siangmu terlebih dulu!"
What? Luciana membuka lebar mulutnya. Merasa syok dengan seruan yang terdengar cukup lantang dari arah belakang.
Bukankah makan siangku gratis? Kenapa harus membayar?
Lagipula pria itu tidak harus berteriak begitu! Ini memalukan!
Luciana berbalik. Berjalan cepat menuju area kasir seraya menggerutu tidak jelas. Mengibas-ngibaskan krah kemeja kotak-kotaknya karena mendadak udara berubah panas di area wajah dan lehernya.
Mengabaikan tatapan pengunjung lain, Luciana bertanya dengan sopan pada sosok pria berparas Timur Tengah yang kemudian melemparkan senyum melihat kedatangannya. "Ya?"
"Semuanya 43.75 Leva, Nona." Dalair menjawab tanpa melepas senyum di wajahnya. Menyorot geli pada sosok gadis yang mematung di hadapannya.
"Richard memintaku datang kemari. Mengajakku makan siang bersama di sini walau kenyataannya aku membawa bekal. Aku hanya kasihan padanya sehingga aku menuruti apa permintaannya, lalu kupikir-"
"Putera Jackson akan membayar makananmu, begitu?"
Mengangkat satu alisnya, Dalair memotong perkataan panjang lebar Luciana yang seketika menganga tak percaya karena si pria kasir mengetahui isi kepalanya. Mendengar penuturan itu, Luciana mengangguk dengan polosnya yang kemudian Dalair tanggapi dengan tawa tanpa suara.
Dalair merasa lucu dengan tampang gadis bernama Luciana yang bercampur antara syok, bingung dan malu. Ia ingin tertawa keras, namun tidak tega melakukannya.
"Sayang sekali, Richard tidak pernah meninggalkan pesan seperti itu padaku, Nona Luciana. Jikalau pria itu berniat menraktir teman-temannya dan tidak datang, ia akan memberitahuku dan aku akan memasukkan tagihan itu ke dalam billnya."
Luciana tampak mengerutkan kening sejenak sebelum kemudian mengangguk singkat. "Baiklah kalau begitu. Aku akan menungguinya di sini. Ia sendiri yang mengajakku kemari dan ia pasti akan datang," ujarnya penuh percaya diri.
"Jam makan siangmu segera habis, Nona. Akan lebih baik kau membayar terlebih dulu. Jika nanti Richard kemari, akan aku sampaikan padanya bahwa kau sudah membayar makan siangmu dan memintanya mengganti sejumlah yang kau bayar. Bagaimana?" Dalair mencoba memberikan solusi terbaik.
Sepasang alis Luciana bertautan. Tampaknya gadis itu sedang berpikir dan ya, keadaan galeri memang sedang cukup ramai dikunjungi. Bahkan istirahat siang antar-karyawan pun harus bergilir.
Semenjak kesepakatan sialan itu, entah sudah berapa lama Luciana kembali bekerja di galeri RPS dan ia baru menyadari jika galeri itu memang cukup diminati. Tak dipungkiri jika sosok Richard merupakan fotografer handal di usianya yang masih tergolong muda. Penggila karyanya bukan orang sembarangan.
Kedua bahu Luciana meluruh. Bergerak lunglai dengan memasang raut muka menyedihkan, Luciana membuka dompet miliknya yang tak bervolume. Menarik selembar uang kertas dan menyerahkannya pelan-pelan pada si pria kasir dengan sangat berat hati.
"Lalu bagaimana caraku pulang, Tuan? Aku harus membayar taksi," lirih Luciana dramatis sambil menatap sang kasir penuh permohonan belas kasihan.
Dalair menghentikan gerakan tangannya yang tengah meraih selembar uang kertas di atas meja kasir. Menaikkan pandangan dan mendapati sepasang mata gadis itu mengiba, namun justru membuatnya ingin melepaskan tawa dan mau tidak mau ia harus menahannya mati-matian.
"Namaku Dalair. Kau cukup memanggilku Lair seperti yang lainnya. Jangan memanggilku dengan kata tuan. Terdengar tidak enak di telinga." Dalair tersenyum bersahaja. "Dan mengenai ongkos taksi, aku juga akan memintanya untuk mengantarkanmu pulang jika kau malu mengatakannya sendiri. Kalian cukup dekat dan pria itu tidak mungkin menolak, bukan? Jadi kau tenang saja."
***
Luciana berjalan menyusuri lorong demi lorong bingkai fotografi menuju ruang di mana ia menyimpan tasnya di dalam loker khusus karyawan. Meninggalkan beberapa rekan kerjanya yang kewalahan memberikan beberapa informasi pada para pengunjung galeri yang baru saja masuk.
Duduk di salah satu kursi dan meletakkan tasnya di atas meja, Luciana segera mengambil bekal makanannya yang ada di dalam tas. Mendadak rasa lapar kembali menyerangnya, padahal ia baru saja menghabiskan steak, salad dan jus alpukat satu setengah jam lalu.
Oh, yang benar saja!
Pun Luciana tidak akan tega membuang makanan itu begitu saja. Jika harus memakannya sore hari, dipastikan makanan itu sudah tak layak dikonsumsi atau ia akan terkena sakit perut.
Di dua detik berikutnya, Luciana dikejutkan dengan kotak makan bergambar princess miliknya itu dalam keadaan kosong. Lebih tepatnya bersih-tak tampak sisa makanan sedikit pun yang ia temukan di sana.
"Ya Tuhan! Apa yang sudah terjadi dengan bekalku?"
"Richard yang menghabiskannya."
Luciana menganga syok mendengar jawaban seseorang di balik punggungnya. Pun ia menoleh ke belakang dan menemukan Josh berdiri di ambang pintu ruangan.
Dilihatnya Josh berjalan mendekat. Luciana melarikan arah pandangnya, mengikuti pergerakan Josh hingga pria itu meraih duduk di depannya. Hanya berbatas meja kayu persegi. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya kemudian. Mengernyit heran.
"Pria itu yang menyeretku kemari. Hanya untuk menemaninya memakan bekal makan siangmu. Ia tahu kau selalu membawa kotak makan beberapa hari terakhir dan menikmatinya diam-diam di sini. Hari ini menjadi kesempatannya untuk merasakan masakan Ava lagi setelah berhasil mengelabuhimu."
Sepasang mata Luciana membola. Nyaris lepas dari rongganya dan langsung dihadiahi kekehan geli Josh.
"Masakan Ava terlalu sayang untuk dilewatkan, Luciana." Josh berucap di sela-sela kekehannya. "Salahkan Ava karena mengundang kami berdua makan siang waktu itu dan membuat kami kecanduan dengan masakannya."
"Kau juga melakukannya kalau begitu." Luciana memicingkan mata. Melayangkan tatapan menyelidik.
"Maksudmu?"
"Tepatnya kalian berdua-lah yang menghabiskannya!"
Josh mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Kupikir tidak ada salahnya mencicipinya sedikit," katanya enteng tanpa rasa bersalah.
Dan Josh melepaskan tawa begitu melihat Luciana meremas kedua sisi kepalanya. Gadis itu hanya sedang meluapkan kekesalannya. Merasa ditipu dan ia tidak terima. Akibat ulah si pria tua itu, ia harus kehilangan beberapa Leva.
Astaga! Richard membebaskannya dalam memilih menu. Tak tanggung-tanggung ia memilih dengan harga yang lumayan!
Allen! Sepertinya laki-laki itu memang ingin mati!
"Karena kalian, aku tidak tahu bagaimana caranya pulang! Lair memintaku membayar makan siangku! Padahal aku selalu membawa bekal, JOSH!"
Ruangan itu mendadak dipenuhi teriakan frustrasi Luciana dan ledakan tawa Josh. Pria itu pun tidak menduga jika akan semenyenangkan ini mengerjai sosok Luciana. Tak heran Richard menjadikan gadis kecil itu sebagai target keusilannya setelah dirinya.
***
To be continued ...
***
Mon, January 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Kena Kau, Gadis Kecil!
RomanceWarning! ⚠️ Rate 21+ Keputusan Richard Allen Jackson (30) untuk berkunjung ke salah satu store kamera terbesar di Sofia hari itu menjadi kesalahan fatalnya. Kamera istimewanya yang seharusnya hanya mendapatkan service ringan mendadak hancur akibat u...