2

417 22 9
                                    

"Butuh berapa lama kameraku selesai?"

Richard melayangkan pertanyaan pada Henry dari balik bibir cangkir, sebelum kemudian menyesap Americano di tangannya dengan gerakan maskulin.

"Aku tidak tahu. Bahkan aku belum menyentuh bagian dalamnya. Aku harus melihat kerusakan apa saja yang dialami kamera tuamu itu." Henry tertawa tanpa suara. Merasa lucu dengan pertanyaan salah satu customer setianya.

Sementara Richard mendengus sebal. Bagaimana tidak? Ia mengunjungi Henry hanya untuk meminta pria itu membersihkan kameranya yang tentu tidak membutuhkan waktu lama. Bukan untuk memperbaikinya. Astaga!

"Luciana."

Bibir Richard tanpa sadar mengeja pelan nama itu---memberi tekanan di masing-masing suku kata dengan bola mata menatap lurus menerawang hingga melewati pagar balkon, sesaat setelah cangkirnya mendarat kembali di permukaan meja.

Tak disangkal bahwa nama itu terdengar indah saat diucapkan. Pun Richard akui gadis itu memiliki paras yang manis dan menggemaskan. Terlebih ketika diselimuti ketakutan dan keresahan seperti beberapa saat lalu.

Sosok Luciana terlihat sederhana dengan gaya pakaian sporty ala anak muda, sebatas celana jeans biru pudar dan kaus berlapis jaket denim. Rambut panjang berwarna cokelat madunya terikat bagai ekor kuda.

Cukup menawan meski tak masuk kriteria wanita idaman dalam kamus percintaan seorang Richard.

Satu sudut bibir Henry tertarik ke atas. Mempertontonkan seringai yang biasanya akan mampu mengoyak jantung para wanita. "Tidak hanya sekali aku melihat gadis itu masuk ke tempat ini, Rich. Pernah hampir menjatuhkan satu kamera saku digital yang sedang dilihatnya. Beruntung itu tidak terjadi, atau ia akan berakhir di ranjangku sebagai gantinya." Terkekeh geli saat kejadian tempo lalu terlintas di kepala pria itu.

Kening Richard mengerut. "Gadis?"

"Yang baru saja membuat kamera kesayanganmu menjadi buruk rupa dan tak berdaya."

Richard mengangguk paham. Mengabaikan hinaan yang terselip dalam ucapan itu mengenai barang kesayangannya. "Diam-diam kau memerhatikannya!"

"Aku tidak akan melupakan gadis yang memiliki fisik menawan yang menjadi customerku, Rich."

Henry menghisap dalam sigaret di tangannya. Menghembuskan asapnya perlahan-lahan ke atas. Mengamati gulungan-gulungan putih itu hingga menghilang karena tiupan angin, lalu menegakkan punggung untuk mematikan ujung puntungnya di dalam asbak kaca. Beralih meraih cangkir kopi hitam tanpa gula miliknya dan meminumnya.

"Dan ranjang? Kau pikir gadis itu seharga kamera mini? Yang benar saja!"

Refleks Henry tertawa keras. Sedikit mengusik pengunjung kedai kopi yang duduk di sekitarnya di area balkon, namun ia tidak peduli.

"Lalu apa bedanya denganmu? Baru saja kau juga memberinya pilihan itu, bukan? Aku mendengarnya dengan sangat jelas dari awal hingga gadis itu berhasil kabur."

"Sudahlah. Aku pamit!" Richard mengibaskan tangan---enggan menanggapi perihal itu, lantas berdiri. "Kabari aku jika sudah selesai-"

"Okay. Tetapi itu akan sangat mahal, Dude! Mencari spare-part kamera tua itu tidaklah mudah."

"Berapapun akan aku bayar!"

Henry tersenyum lebar. Ia selalu senang dengan customer setia dan royal seperti Richard. "With pleasure, Brother!"

Tanggapan Henry menghantarkan langkah Richard keluar dari coffee shop. Isi kepalanya bercabang antara memikirkan bagaimana nasib kameranya dan bagaimana caranya menemukan gadis itu lagi untuk memberinya pelajaran karena telah berani melarikan diri.

Kena Kau, Gadis Kecil!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang