70

77 4 1
                                    

Entah sudah berapa menit lamanya, Richard menangis di samping tubuh Emery. Bukan menangis ala perempuan yang meraung-raung memekakkan telinga. Ia hanya diam menatap wajah sang ayah, namun tanpa bisa dicegah air matanya terus mengalir.

Tangannya terus menggenggam erat tangan Emery yang jari-jemarinya telah mampu memperlihatkan gerakan kecil. Setidaknya informasi itu yang ia dapatkan dari Benjamin beberapa saat lalu. Ya, seorang perawat tanpa sengaja melihat pergerakan samar jemari Emery ketika ia hendak mengambil mangkuk plastik yang berisi air hangat untuk mandi pasien dan langsung melaporkannya pada Benjamin yang selalu standby di rumah sakit.

"Ayahmu mengalami perkembangan yang bagus, Richard."

Penjelasan Benjamin kembali masuk ke dalam kepala Richard. Mengundang senyum kecil kelegaan di tengah air matanya yang sesekali mengalir.

"Cobalah membangun komunikasi dengannya agar ia bisa merasakan keberadaanmu di sekitarnya. Tanamkan kata-kata yang baik atau hal-hal lucu untuk memancing kesadarannya."

Senyum Richard semakin lebar. Nyaris menyentuh matanya yang terlihat basah.

"Kau dengar, Dad? Kita mesti membicarakan banyak hal mulai saat ini." Menjeda dalam detik. "I have a lot of things to say to you and I'm sure, 100%, you'll be very happy to hear it." Tersenyum penuh keyakinan.

Ah, Richard harus mengucapkan terima kasih untuk yang kedua kalinya pada Luciana. Setidaknya berkat inisiatif gadis itu dengan mengajak Emery berbicara, perkembangan kesehatan ayahnya menjadi cukup baik dalam waktu singkat-sangat singkat.

Bukankah ini suatu keajaiban?

"Aku mendengar dari Josh bahwa kau menyukai Luciana, Dad." Menelan salivanya pelan. Berusaha menormalkan desiran di tubuhnya setiap kali nama Luciana lolos dari bibirnya. "Ya, ia gadis yang menggemaskan bagiku. Ia memberi warna di hidupku meski perjumpaan awal kami terbilang sangat... buruk."

Richard tertawa tanpa suara. "Kau tahu, Dad? Luciana menghancurkan kamera pertamaku. Ia menabrak tubuhku dengan sangat keras." Menyuarakan intonasi aduan bak anak kecil. Aduan yang memang dibuat-buat. "Meski aku membencinya kala itu, nyatanya seiring waktu gadis itu mampu membuatku sejatuh cinta ini padanya dengan berbagai tingkah konyolnya yang apa adanya. Membuatku semakin ingin selalu menggodanya. Menjahilinya hingga marah. Itu sangat menyenangkan, Dad."

Kepala Richard terangguk sendirinya. "Yes, Dad! You're right. I'm in love with her. Meski aku tidak tahu kapan aku menyadarinya."

Richard terdiam seolah sedang berpikir. "Mm...mungkin sejak aku melihatnya bersama pria lain yang kini kuketahui sebagai kakak laki-lakinya. Atau...." Kembali terdiam untuk menarik napas panjang. "...sejak Nicole muncul di hadapanku dengan sangat tidak terduga," lanjutnya. Menekan suaranya agar tak mempengaruhi kesehatan Emery.

"Aku memanfaatkan keberadaan Nicole untuk memastikan hatiku pada Luciana, Dad. Memastikan hatiku tidak lagi tertuju pada wanita itu. Aku tidak menceritakannya pada siapapun, bahkan Josh, karena aku tidak ingin orang-orang mencampuri urusan pribadiku. Maaf karena telah menciptakan kesalahpahaman ini terlalu lama dan berakhir mengirimmu ke ranjang rumah sakit ini."

Mata biru Richard menyorot penuh sesal pada Emery yang masih betah tertidur. Ah, ia akan memberitahu perkembangan sang ayah pada ibunya nanti. Alma baru saja pulang pagi ini. Biarkan wanita itu istirahat terlebih dulu.

"Kau pikir hatiku tidak sakit ketika dengan sangat sengaja aku mengabaikan Luciana, Dad? Aku tersiksa setiap kali melihat Luciana murung, lalu menangis karena diriku. Terlebih aku membela Nicole secara terang-terangan di depan wajahnya saat berkunjung ke Emeraude. Aku melakukan itu karena aku ingin tahu bagaimana reaksinya terhadapku. And you know, Dad? Aku melihat luka yang sangat besar di kedua bola matanya. It means she's in love with me, right?"

Kena Kau, Gadis Kecil!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang