"Aku langsung pamit!" ucap Richard memberitahu setelah memberhentikan mobilnya di pinggiran trotoar. Tepat di sisi bangunan apartemen Luciana yang berdinding batu bata.
Siapa juga yang menawarinya untuk mampir!
Luciana mendengus kecil. Merasa kesal dengan tingkah pria dewasa yang tak menolehnya sedikit pun saat mengucapkan kata-kata itu. Luciana langsung memilih membuka pintu dan hendak keluar dari kabin mobil mewah itu, namun suara datar Richard menahannya.
"Setidaknya ucapkan terima kasih."
Meredam rasa kesal yang menjadi-jadi di dadanya, Luciana menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Memutar tubuh yang masih terduduk dengan memaksa senyum tersungging manis. "Aku tidak meminta Anda untuk mengantarku pulang, namun tidak apa. Setidaknya aku bisa menghemat uang transportasi. By the way, terima kasih, Tuan ... Mm-maksudku Allen."
"Good!"
Luciana memutar bola matanya. Cepat-cepat keluar dari mobil dan menutup pintunya keras-keras. Memancing keterkejutan Richard hingga pria itu terkesiap. Tak lama, teriakan kesal Richard terdengar. Pria itu menurunkan kaca jendela mobil bersamaan satu tangan menekan klakson panjang. Menyumpah-serapahi Luciana yang seketika lari tunggang langgang memasuki apartemennya.
"Luciana Miller. Awas kau!" geram Richard. Menaikkan kaca jendela dan melajukan mobil dalam kecepatan tinggi. Meninggalkan kawasan tempat tinggal si gadis kecil yang mulai memporak-porandakan hidupnya.
***
Hari sudah malam. Jam dinding menunjuk pukul 8 malam lewat 18 menit. Luciana memutuskan duduk di depan tv, menonton salah satu serial drama favoritnya, ditemani dua buah apel merah, satu bungkus roti tuna dan dua kaleng softdrink yang belum ia bayar. Astaga ...
Allen.
Allen.
Allen.
Kenapa semakin sering menyebut nama itu, wajah sang pemilik nama semakin merangsek masuk ke dalam otak. Luciana menggaruk kulit kepalanya yang mendadak gatal. Mengacak rambutnya hingga berantakan layaknya orang bangun tidur.
"Aku memang menjadikannya figure pasangan masa depan, tapi tidak seperti ini! Aku akan mencari sosok sepertinya di kampus. Seorang dosen. Mungkin?"
Luciana mendaratkan satu gigitan besar pada roti isi tunanya. Mengunyahnya cepat dan buru-buru menelannya. Berharap sesuatu yang membuatnya gusar ikut tertelan dan hancur akibat zat asam di dalam lambung. Membuka satu kaleng minuman dingin dan meneguknya setengah.
Ting Nong!
Mendengar bel unitnya berbunyi, Luciana menandaskan sisa roti dalam satu kali suap. Dengan kedua sudut pipi menggembung, Luciana berjalan cepat menuju pintu dan membukanya. Terbengong beberapa saat sebelum kemudian ia merasakan tubuhnya terdorong ke samping dengan keras.
Mikayla datang dengan muka terlipat. Menerobos masuk tanpa permisi. Bahkan berani menggeser tubuh Luciana, sang tuan rumah, yang menghalanginya. Mikayla menghempaskan tubuhnya, duduk di sofa motif papan catur dengan kedua tangan bersedekap.
Menelan serpihan roti di dalam mulutnya, lantas Luciana menghela napas lelah mendapati wajah sang sahabat yang malam hari ini terlihat tak mengenakkan. Menutup pelan pintu dan kemudian menyusul duduk di samping Mikayla yang cemberut.
"Ke mana saja kau, hah?" tanya Mikayla sedikit menyentak. Menoleh keras Luciana yang seketika terlonjak kaget.
Luciana menggigit bibir bawah. Menggaruk-garuk kepala tanpa sebab dan lalu meringis lebar. "Aku-"
"Andy memarahiku! Aku yang merekomendasikanmu untuk bekerja di café itu dan kau tiba-tiba menghilang kemarin malam tanpa kabar, tanpa izin. Ponselmu aktif, namun tak satupun panggilan atau pesanku terbalas. Dan pagi ini ...." Menyorot serius pada manik Luciana. "...kau tidak masuk. Lalu malam ini kudapati kau berada di flat bersantai seperti ini. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Lue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kena Kau, Gadis Kecil!
RomanceWarning! ⚠️ Rate 21+ Keputusan Richard Allen Jackson (30) untuk berkunjung ke salah satu store kamera terbesar di Sofia hari itu menjadi kesalahan fatalnya. Kamera istimewanya yang seharusnya hanya mendapatkan service ringan mendadak hancur akibat u...