Gadis dengan kaus putih oversize dipadukan hotpans hitam itu masih terbaring nyenyak diatas tempat tidur.
Matanya sembab akibat terlalu lama menangis. Gadis itu melenguh pelan seiring matanya yang terbuka lalu dia duduk melihat jam weker di atas nakas.
Kemudian pandangannya jatuh pada lengannya yang masih memerah akibat luka yang sempat berdarah. Kejadian beberapa jam lalu masih terbayang dipikirannya dimana sosok Aiden yang menyakitinya, tapi Aiden juga yang berakhir mengobatinya.
Dan seperti biasa, Aiden pasti sudah pulang saat Hazel sudah terlelap. Mengingat Aiden juga menghindari pertemuannya dengan papa Hazel.
Hazel beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandinya. Sore akan berganti malam dan malam adalah waktu kesialan bagi Hazel. Tapi apapun itu Hazel tetap harus menjalaninya tanpa bisa menghidar.
Gadis dalam balutan bathrobe baby blue dengan handuk putih yang menggulung rambutnya itu berdiri didepan cermin rias. Menatap pantulan wajahnya yang sempurna.
Dia Hazel tapi yang merasakan semuanya sekarang adalah Azila.
Apa yang kurang dari diri Hazel? Tapi kenapa masih banyak juga orang yang membencinya? Bahkan Azila sendiri tak lebih dari upik abu jika dibandingkan dengan Hazelica.
Tangan Hazel bergerak membuka laci mengambil hairdryer untuk mengeringkan rambutnya. Setelahnya dia kembali ke walk in closet untuk mengganti pakaian.
Jumpsuit purple panjang nampak serasi dengan warna kulitnya. Hazel sengaja memakai pakaian panjang untuk menutupi luka ditubuhnya. Bukannya dia lebay, luka ditubuhnya sangat banyak bahkan sebelum Aiden melukainya.
Hazel turun setelah salah satu pekerja rumah memanggilnya untuk makan malam.
Langkah kaki Hazel perlahan sampai dianak tangga paling bawah, matanya tertuju pada meja makan yang sudah terisi beberapa orang.
Disana tidak ada kehangatan yang tercipta, perang dingin sudah lama terjadi. Semua seakan hidup masing-masing. Kecuali ketika di depan publik, keluarganya itu pasti akan menciptakan suasana hangat sebagai formalitas semata.
Tak heran kenapa semua orang menjadikan keluarga Mahanta sebagai panutan untuk menciptakan keluarga yang harmonis, terlebih hanya ada dua wanita yang pasti di ratukan oleh mereka. Sungguh sempurna kehidupan di depan layar.
Hazel menarik satu kursi menimbulkan bunyi nyaring. Gadis itu duduk, disampingnya ada kakak pertamanya. Sedangkan mamanya berada tepat disamping kakak kedua Hazel yang berada di depannya. Dan kursi utama sudah jelas terisi oleh sang kepala keluarga.
"Berapa nilai ulangan harian kamu hari ini?,"
Hazel memejamkan matanya sebentar, selalu saja seperti ini. Hazel bahkan baru mengambil makanan dan belum dia suapkan sekalipun ke mulutnya. Setidaknya biarkan Hazel makan dengan tenang sebentar saja.
"Kamu semakin lama semakin tidak tahu diri Hazel,"
Hazel diam dengan pandangan menunduk. Dia tidak bisa melawan atau setidaknya membantah karena setiap kali Hazel melakukannya dia seringkali berakhir di rumah sakit, miris. Tapi itu memang yang terjadi.
Sudah Hazel tebak kalau papanya sudah tahu mengenai dirinya yang pingsan dan tidak bisa mengikuti ulangan harian tadi, tapi apa itu salahnya? Semua diluar kendali Hazel. Pagi tadi Hazel tidak sarapan karena papanya melarangnya makan sebagai hukumannya karena kemarin mendapat nilai tugas yang rendah.
Kai Mahanta, lelaki ambisius yang haus akan kepuasan baik dalam dunia bisnisnya atau dalam mengatur diri Hazel. Papanya itu terlalu mengatur Hazel seakan hidup dan mati anak bungsunya itu ada ditangannya.
Padahal yang Hazel tahu kedua kakaknya tak dituntut untuk selalu mendapat nilai sempurna dan peringkat pertama. Beda halnya dengan perlakuannya pada Hazel.
"Keruang kerja saya setelah ini,"
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 Schmerz _________________________________________ 'Skenario itu takdir' "Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," "Lo bener bener ya! Minta ma'af sekarang atau lo bakal dap...