5. Wounds and constraints

1.2K 66 15
                                    

"Kamu memang harus dikasih pelajaran Hazel! Beraninya kamu bolos ulangan harian, hah?! Jawab saya!,"

"Hazel nggak bolos paa.. Haz--,"

"Jangan buat alasan, karena saya tidak akan percaya!," Kai memotong ucapan Hazel dengan bentakannya.

"Tapi Hazel pingsan karena papa,"

"KAMU MENYALAHKAN SAYA?!,"

Lelaki berusia hampir kepala empat itu mendorong tubuh Hazel kasar sampai punggung gadis itu menabrak dinding dibelakangnya.

"SUDAH HEBAT KAMU? HAH?!,"

"Tapi Hazel jujur paa..," lirih Hazel, berusaha keras menahan tubuhnya agar tidak jatuh karena tulang punggungnya yang terasa dipatahkan, rasa sakit itu menjalar diseluruh punggungnya.

"Akkhh--sshh.. sakit paa.. lepass..," Hazel merintih sakit memegangi rambutnya yang ditarik ke belakang. Benar-benar sakit, tangan kekar pria itu juga sangat sulit untuk Hazel lepaskan.

"Beraninya kamu menyalahkan saya, kurang ajar!." dan Kai sungguh tidak peduli mendengar rintihan kesakitan putrinya. Pria itu dibutakan amarah.

"Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," Kai melepas cengkeraman kuatnya dirambut Hazel dengan sangat kasar, sambil membuang muka dan mendecih remeh.

Selama beberapa saat Hazel diam dengan posisinya sampai akhirnya gadis itu menegakkan tubuhnya kembali untuk menatap papanya,"Kalau gitu lepasin Hazel pa.. biarin Hazel pergi," ucap Hazel dengan mata berkaca-kaca. Hazel tidak peduli kalaupun papanya sudah sangat bosan mendengar kalimat yang selalu dia lontarkan itu.

Kai terkekeh pelan,"Kamu mau saya lepaskan? Belum saatnya!," bentak Kai membuat Hazel seketika memejamkan matanya takut.

Diiringi isak tangis Hazel menatap papanya tak menyangka,"Kenapa? Papa belum puas nyiksa Hazel? Sampai kapan pa? Harus sampai kapan papa begini ke Hazel? Harus sampai kapan juga Hazel bertahan sama semuanya..,"

"KELUAR DARI RUANGAN SAYA!," bentak Kai setelah sempat memukul meja kerjanya sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Telinga pria itu rasanya semakin panas mendengar segala ocehan Hazel yang memuakkan.

Hazel mengusap air matanya kasar, lalu mengangguk-ngangguk sebelum akhirnya melangkah pergi. Lantas pergerakan tangan Hazel saat ingin membuka pintu terhenti oleh ucapan papanya.

"Belajar sampai jam dua,"

Sejenak Hazel diam ditempat, dengan masih sesenggukan Hazel mengangguk tanpa memutar tubuhnya kemudian benar-benar keluar dari ruangan yang kerap kali menjadi saksi bisu atas perlakuan kasar papanya.

Hazel berjalan masih dengan mengusap air matanya. Dari arah berlawanan terlihat Nadia, mamanya itu berjalan dengan membuang muka saat Hazel tatap. Dan Hazel perhatikan mata mamanya terlihat berkaca-kaca entah apa sebabnya. Sebenarnya Hazel seringkali mendapati hal itu tapi Hazel tak punya cukup nyali untuk bertanya.

Dia dan mamanya tak pernah saling bertukar suara, bahkan saat Hazel menyapa justru diabaikan olehnya.

Dan saat Hazel akan sampai dikamarnya, seorang lelaki tampan keluar dari kamar yang bersebelahan dengan kamarnya.

Dia Jarrel, lelaki yang sikapnya tak dapat Hazel tebak. Kakak pertamanya itu sangat misterius berbeda dengan Jevano kakak keduanya yang sangat aktif, bahkan Jevano lah yang seringkali berinteraksi dengan Hazel diluar pengawasan papa mamanya, itupun keduanya selalu beradu cakap alias tidak bisa akur.

Meski wajah keduanya identik, Hazel dapat membedakannya dengan mudah hanya dari sifat dan sikap keduanya yang saling bertolak belakang.

Tidak seperti saudara lainnya, Hazel sendiri merasa tak memiliki saudara. Dia di benci tanpa sebab yang jelas oleh mereka.

Disana, Hazel mengabaikan keberadaan Jarrel yang terlihat masih diam memperhatikannya di depan pintu kamar cowok itu.

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang