76. Bad news again?

440 19 10
                                    

"Apa yang jatoh bi?,"

Jevano menatap bertanya pada bi Mina yang baru datang dari ruang tamu.

"Bingkai fotonya tuan, den,"

"Papa," monolog Jevano langsung teringat papanya yang tadi bilang akan segera pulang. Cowok bermuka cemas itu lantas berdiri dari duduknya dilantai, karena Nadia terbaring pingsan disofa.

Jevano merogo ponselnya disaku celana rumahan berwarna hitamnya dan segera mengotak-ngatiknya,"Udah lewat setengah jam papa nggak sampe-sampe, Jarrel juga dihubungi nggak bisa, ck," decaknya berjalan mondar mandir diruang tengah yang hanya ada dirinya, Nadia, juga bi Mina yang kini tengah mencoba untuk membuat mamanya sadar.

"Ni orang ngeyel banget dibilangin," dumel Jevano masih tak berhenti menghubungi nomor kembarannya yang tepat setengah jam lalu pergi lagi dari rumah.

Jarrel ngotot ingin mencari Hazel ke tempat lokasi Hazel dikabarkan kecelakaan. Jevano tahu, sulit bagi kembarannya itu untuk tidak peduli pada Hazel. Sebenci apapun Jarrel pada Hazel yang mana merupakan sumber kehancuran keluarganya, tetap saja Jarrel menyayanginya.

Jevano menengok ke belakang melihat sang mama yang masih belum sadarkan diri,"Gue pengen susul Jarrel, tapi mama gimana? Papa juga belom pulang-pulang," monolognya sendiri.

"Aden mau susulin den Jarrel?,"

Jevano menoleh lantas membuat kakinya kembali mendekat dan duduk pada single sofa,"Enggak bi, kasihan mama,"

"Gapapa den biar bibi yang urus ibu, den Jevan gausah khawatir kan kata aden bapak juga mau pulang,"

"Tapi bi--,"

"Hutan itu bahaya den, kasian den Jarrel kalo sendirian,"

Jevano diam sejenak, mempertimbangkan segala hal sebelum akhirnya memutuskan untuk,"Yaudah kalo gitu aku titip mama ya bi, kalo papa sampe rumah bilang aja aku nyusul Jarrel,"

"Iya den, bibi juga titip non Hazel dibawa pulang ya?," pinta bi Mina dengan suaranya yang sedikit parau dengan mata yang berkaca-kaca sedari tadi.

Jevano hening, tak lama setelahnya dia tersenyum dan mengangguk singkat.

Bi Mina harap Jarrel dan Jevano bisa cepat membantu pencarian Hazel. Asisten rumah tangga yang berusia hampir seabad itu kasihan pada nyonya majikannya. Tadi saat mendapat kabar kedua dari polisi, yang bilang kalau mereka hanya menemukan satu tas ransel berwarna babyblue dengan isinya yang masih lengkap, termasuk handphone gadis malang itu.

Namun, saat Jevano baru menaiki motor besarnya handphonenya berdering. Jevano buru-buru mengangkat teleponnya takut-takut ada hal penting yang berhubungan dengan Jarrel maupun Hazel, apalagi saat melihat nama yang tertera disana.

"Halo,"










Ini bukan kabar yang diinginkan oleh Aiden, dia benar-benar tidak percaya sebelum dia melihatnya sendiri.

Cowok itu langsung cepat-cepat keluar dari kamarnya tepat setelah dia mendapat kabar dari teman-temannya di grup chat.

"Aiden mau pergi kemana kamu?,"

Pertanyaan Arinda bagai angin lalu yang tak sekalipun Aiden gubris, padahal sudah jelas mamanya itu ada diruang tengah.

"Aiden pasti menyusul gadis pembawa sial itu, menyusahkan!," cetus Arinda tak suka.

Begitu sampai lantai teras, langkah lebar Aiden tiba-tiba dihalangi oleh papanya yang rupanya baru pulang dari pekerjaannya diluar kota.

"Mau kemana?,"

"Bukan urusan anda," balas Aiden dingin seperti biasa.

"Kamu masih tanggung jawab saya sepenuhnya Aiden! Masuk ke rumah sekarang!,"

Diam-diam Aiden mengepalkan kedua tangannya disisi tubuhnya menyalurkan perasaan kesalnya. Mata Aiden memejam sebentar meredam emosinya sebelum dia berlalu pergi dari hadapan Davi begitu saja.

"AIDEN!,"

Cowok tinggi berjaket kulit hitam itu seakan menulikan pendengarannya membawa motor besarnya keluar dari pekarangan rumah.

Bunyi deruman motornya sungguh membisingkan telinga, segala macam kendaraan dia salip seakan menantang maut. Sampai kerumunan dijalan depan membuat jalanan yang biasanya sepi jadi lumayan ramai dan hal itu berhasil membuat motornya berhenti mendadak.

"Ck, bangsat!," umpatnya sembari memukul stang motornya kasar.

Tin!

Tin!

Tin!

"Kalo mas nggak sabaran mending puter balik, didepan ada kecelakaan mas," timpal seorang bapak-bapak didalam mobil pick up disebelahnya.

Sebenarnya memang bisa tapi itu akan semakin mengulur waktu, sedangkan Aiden tidak punya banyak waktu untuk terus menunggu. Dengan terpaksa Aiden turun dari motornya menghampiri kerumunan orang di depan sana.

Aiden memicing saat sebuah mobil BMW hitam kapnya berasap yang membuatnya sempat terdiam, dia seperti mengenal mobil itu. Buru-buru Aiden membela orang-orang yang mengkerubungi orang yang sepertinya masih didalam mobil.

"Om Kai?," Aiden mendelik kaget mendapati orang itu adalah Kai, seperti dugaannya.

"Pak kenapa nggak cepet dibawa ke rumah sakit?,"

"Ambulansnya belum dateng dek," jawab salah satu bapak-bapak.

"Kalian kan bisa berhentiin kendaraan orang? Ini menyangkut nyawa orang pak!,"

Kesalahan orang sekarang memang seperti itu, tidak cepat tanggap menolong orang. Eh malah ribut sendiri, mana direkam dulu lagi. Masalahnya iya kalau orangnya masih sadar dan tidak luka parah, tapi kalau sebaliknya?

Ya memang segala sesuatu itu sudah takdir, tapi apa salahnya kalau bisa mencegah sebelum terlalu parah? Bukannya Aiden sok tahu, sok jagoan, atau sok apalah, dia hanya sekadar mengingatkan.

Coba saja kalau misal kita yang ada diposisi itu bagaimana? Diabaikan dengan tetap menjadi tontonan, diurus kalo ambulans datang.

Kalau rumah sakitnya dekat sih no problem, tapi kalau jauhnya kayak sini ke kota sebelah? Haaahhh..

Kepanikan Aiden semakin bertambah, dia sangat khawatir pada Hazel tapi papa gadis itu juga sedang butuh pertolongan.

Maka tanpa babibu lagi Aiden buru-buru membopong tubuh Kai dan meminta bantuan pada bapak yang membawa mobil pick up disamping motornya berhenti tadi. Dan beruntungnya bapak-bapak itu mau berbaik hati.

Tidak ada alasan bagi Aiden untuk tidak menolong Kai, sekalipun seandainya orang itu bukan Kai, Aiden juga akan tetap menolongnya. Melihat tidak ada yang gerak cepat disana.

Aiden dengan motornya mengikuti mobil pick up hitam yang membawa Kai menuju rumah sakit terdekat.

Usai membawa Kai sampai ditangani diruang IGD, Aiden terlihat mondar-mandir di depan ruang darurat itu dengan peluh yang membasahi wajahnya.

Cowok itu langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Jarrel, tapi nomor Jarrel tidak bisa dihubungi, dia pun langsung beralih pada nomor Jevano. Saat teleponnya berhasil tersambung..

"Halo,"

"Jev bokap lo kecelakaan,"

"Apa?!,"

"Sekarang om Kai dirumah sakit,"

"Gue kesana sekarang,"

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang