9. Lakes and sunsets

917 60 0
                                    

Semilir angin menjadi pengiring sore hari kedua remaja yang tengah asyik ditepi danau dengan batang pohon roboh sebagai tempat duduk.

Keduanya tak berhenti memandangi salah satu ciptaan-Nya yang indah. Sesuatu yang tidak semua manusia bisa merasakan dan menikmatinya. Sederhana saja, karena hanya tentang senja.

Hazel menoleh kesamping dimana ada sosok Aiden yang begitu serius memandang langit sore.

Alis tebal, iris mata pekat, semua yang ada dalam diri Aiden begitu Hazel kagumi. Kecuali sikap Aiden yang terlalu berlebihan padanya.

Aiden Arnav Biantara, cowok yang beruntungnya Hazel miliki.

Tak banyak yang tahu tentang diri Aiden, tapi sosoknya banyak dikagumi semua orang terlebih para kaum hawa.

"Matahari terbenam itu bukti kalo apapun yang terjadi tiap hari bisa berakhir dengan indah, sama kayak hari ini,"

Aiden langsung menoleh menatap seseorang yang barusan bicara tapi hal itu justru membuat keduanya mematung karena jarak yang begitu dekat. Hazel kelabakan sendiri karena terciduk memandangi Aiden diam-diam.

"Hazel ma'af.. karena gue nggak ada, lo jadi..,"

Hazel menggeleng,"Aiden udah, semuanya udah lewat. Aku nggak mau bahas hal itu, sejenak aja kita lupain semua masalah yang ada,"

Aiden terkekeh kembali menatap danau dan langit,"Lo bener, disini cuma ada kita dan cuma tentang kita," katanya diakhiri senyum simpul yang membuat Hazel menatap sosoknya tak menyangka.

Lalu keduanya sama-sama saling diam kembali menikmati pemandangan yang hanya bisa disaksikan beberapa saat dalam sehari.

"Katanya laut senja bisa bikin kita tenang kalo lagi sedih, marah, kesel, tapi nyatanya enggak buat gue,"

Hazel mengernyitkan dahinya bingung,"Kenapa?," tanyanya menatap Aiden yang entah sejak kapan mulai memandanginya dengan begitu serius.

"Laut senja itu cuma pemanis, karena yang beneran bikin tenang cuma Hazelnya Aiden," tangan Aiden tergerak menyingkirkan anak rambut Hazel yang menutupi separuh wajah cewek itu.

Hazel terperangah, sangat jarang Aiden berkata manis padanya. Terakhir kali saat pertama kali mereka pacaran.

"Sejak kapan Aidennya Hazel jadi pujangga?,"

"Sejak dunia Aiden isinya cuma tentang Hazel,"

Hazel terkekeh geli, ya apapun itu, tak memungkiri kalau kini Hazel bahagia. Bahagia bisa melihat Aiden tersenyum padanya. Bukan Aiden yang kasar.

"Tapi ini danau bukan laut,"

"Jadi lo mau ke laut?," tanya Aiden dengan nada tawaran.

Aiden pikir Hazel akan mengerti kalimat perumpaannya atau mungkin Hazel memang ingin pergi ke laut?

Tapi Hazel menggeleng karena cewek itu pikir, tidak perlu jauh-jauh ke laut untuk melihat senja. Lagipula danau yang seringkali mereka datangi lebih dari menenangkan. Tempatnya yang sepi dan asri, sebab jarang ada orang yang tahu.

"Sadar nggak sih kalau kita kadang cuma kagum sama senja tanpa tahu jingga yang selalu menggenapkan warnanya?," lama Hazel pandangi senja, otak cerdasnya merespon cepat akan suatu hal janggal itu.

"Ya itu kayak lo Hazel," Aiden menarik hidung Hazel dengan gemas dan hal itu malah membuat Hazel tertawa.

"Kok bisa?,"

"Nggak tahu cuma ngarang hahahhh," Aiden tertawa keras, membuat Hazel mendengus sebal lantaran sudah menunggu alasan apa yang bisa menyamakannya dengan senja dan jingga.

Aiden meredam tawanya, cowok itu tidak ingin membuat Hazel semakin cemberut,"Mau tau nggak apa yang nggak tenggelam, waktu senja datang?,"

"Langit? Awan?," tebak Hazel dengan satu alis terangkat bertanya memastikan.

"Kita dan rasa,"

Hazel tidak bisa untuk tidak tersenyum. Dia harap Aidennya akan selalu semanis ini. Semoga.

"Hazel lo suka senja?,"

Hazel berdehem sok berpikir serius,"Menurut kamu?,"

"Enggak kan lo suka gue,"

Ternyata tingkat kepedean Aiden sudah mencapai batas maksimum. Dan itu lebih baik, karena apa yang Aiden bilang memang benar adanya.

"Hazel, meskipun gue bukan senja yang lo tunggu, gue bisa jadi langit yang selalu ada buat nemenin lo tiap waktu,"

"Aiden geli tau! Kayak anak senja aja gombalannya!," Hazel mendengus geli, lama-lama Aiden lebih cocok jadi anak seni ketimbang seorang atlet.

"Tapi keren kan gue?,"

"Iya iyaaa,"

Memangnya sejak kapan seorang Aiden tidak keren?

"Hazel?,"

Hazel menyahut singkat.

"Jangan pernah tinggalin gue ya?,"

Gadis bersurai sedikit berantakan itu mengernyit,"Kenapa gitu?,"

"Emang lo mau tinggalin gue?,"

"Hah? Eng-enggak kok,"

Seperti apapun Aiden, Hazel tak sekalipun ingin meninggalkannya. Hazel butuh Aiden dihidupnya. Karena hanya Aiden yang selalu ada untuk Hazel dan hanya Aiden pula yang bisa melindungi Hazel. Setidaknya untuk saat ini.

"Janji?,"

"Janji,"

Dihadapan danau ikut disaksikan senja jingga, kedua orang itu saling bertaut kelingking membuat janji. Janji yang tidak akan mereka ingkari.

"Lo harus nemenin gue sampai gue jadi hakim dan gue bakal hukum papa lo,"

Kalimat Aiden sukses membuat Hazel menatap tak suka,"Aiden apaan sih!," Hazel membuang muka kesamping dan bersedekap dada tak ingin menatap Aiden.

"Hahahhh bercanda," Aiden tertawa sembari mengusak kepala Hazel gemas.

'Ma'af Hazel tapi gue serius' gumam Aiden dalam hati.

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang