Dinginnya malam tak membuat Hazel ingin bergerak sedikit pun. Dia masih terus menangis dengan sesekali sesenggukan.
Dia sendirian. Hazel ingin pergi tapi dia tidak tahu akan kemana.
Padahal sudah terhitung satu jam lebih Hazel duduk sendirian dihalte. Disana jarang ada kendaraan yang lewat. Sepi dan gelap.
Lama dia menangis tiba-tiba ada seseorang yang duduk tepat disampingnya, begitu dekat. Tapi seakan tidak tahu, Hazel mengabaikan itu dan tetap menangis.
"Masalah lo seberat apa sih?,"
Hazel diam lalu dia menatap seseorang yang barusan berbicara. Dia terkejut mengetahui kalau seseorang itu adalah Mark.
Menyadari suatu hal, Hazel menggeser tubuhnya menjauh tidak ingin berdekatan dengan cowok itu.
"Perlu gue lap air mata lo itu?,"
"Nggak!," ketus Hazel sembari mengusap air matanya dengan kasar. Karena tidak ingin membuat Aiden kembali marah, Hazel berdiri tapi lengannya justru dicekal cepat oleh Mark.
"Mau kemana?,"
"Lepas!,"
Mark melepas cekalannya cepat begitu mendapat tatapan jutek Hazel.
"Jangan pergi kalau pikiran lo lagi kalut. Duduk! Gue nggak bakal ganggu lo,"
Kalimat Mark yang terdengar seperti perintah barusan berhasil membuat langkah Hazel urung.
Setelah cukup lama berdiam diri, Hazel akhirnya memutuskan untuk kembali duduk dengan memberi jarak yang cukup jauh. Tepatnya diujung.
"Seberat apapun masalah lo, jangan pernah pergi! Mungkin kalimat gue terlalu klise dan basi buat didenger, tapi gue serius,"
"Sejak kapan lo bijak?,"
Mark tertawa renyah memikirkan pertanyaan Hazel yang menurutnya benar. Iya juga, sejak kapan dia jadi sebijak itu? Sekolah saja dia tidak pernah serius.
Hazel menolehkan kepalanya saat Mark memanggil namanya.
"Sekarang gue nggak bakal maksa lo, jadi gimana sama tawaran gue?,"
"Ini udah keberapa kalinya gue nolak lo? Mark?,"
Mark tertawa kecil,"Tiga puluh satu kali sekarang," ucap Mark masih diiringi tawanya.
"Mau sampai kapan?,"
"Sampai hari itu tiba,"
Hazel mengernyitkan keningnya bingung. Mark selalu saja bicara seperti itu dan sampai sekarang Hazel masih tidak mengerti apa maksud cowok itu.
Lagipula kenapa semua laki-laki itu sulit dimengerti? Why? Rasanya lebih mudah menghafal banyak rumus fisika. Pikir otak cerdasnya.
Dari Aiden ke Jarrel dan sekarang Mark, mereka semua tidak bisa Hazel pahami. Tapi Hazel tak pernah memusingkan soal Mark, karena dimata Hazel Mark adalah lelaki jahat yang penuh ambisi.
Mark itu rivalnya Aiden, Mark sepupu jauh Aiden. Pertemanan dekat Aiden dan Mark hancur, karena Mark menyukai Hazel entah sejak kapan, yang jelas cowok itu ikut menembak Hazel tanpa Aiden tahu.
Bahkan sebelumnya Mark juga pernah menculik Hazel, jadi tidak heran kenapa Hazel juga membenci sosoknya. Dan hal itu juga yang membuat Aiden seringkali berlaku kasar ke Hazel. Padahal mau berapa kali pun Mark menembaknya Hazel tetap memilih Aidennya.
Mark juga tahu perlakuan kasar Aiden pada Hazel karenanya Mark seringkali memaksa Hazel untuk meninggalkan Aiden tapi Hazel tak sebodoh itu untuk menuruti permintaan gila cowok itu. Yang ada Mark sendiri yang habis babak belur ditangan Aiden dan hal itu memang sudah sering terjadi bahkan tanpa Hazel tahu sekalipun.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 Schmerz _________________________________________ 'Skenario itu takdir' "Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," "Lo bener bener ya! Minta ma'af sekarang atau lo bakal dap...