82. Farewell

706 17 0
                                    

Hujan turun deras sejak pagi sampai siang ini, aroma khas yang hujan bawa membawa kegembiraan bagi penikmatnya.

Suasana dingin seperti ini membuat siapapun jelas betah berada dibalik selimut menjemput mimpi ditemani hujan.

Bagi sebagian orang mungkin hujan mengganggu karena suaranya yang berisik dan menghalangi mereka beraktivitas diluar. Tapi ada beberapa orang yang selalu menanti kehadiran hujan, bagi mereka hujan menenangkan, membawa alunan musik yang hanya bisa hujan ciptakan.

Menurut kalian hujan itu bagaimana? Apa kalian suka hujan?

Sama halnya dengan Mark yang menyukai hujan.

Masih ingat Mark Skyler kan?

Kira-kira berapa kali pernyataan cintanya ditolak oleh Hazelica?

Jawabannya pasti sudah lupa atau mungkin tak terhitung.

Lelaki itu sama sedihnya dengan orang-orang yang merasa kehilangan Hazel. Dia menyesal karena pertemuan terakhirnya mungkin tak berkesan baik untuk cewek itu.

Hari itu sepulang sekolah, Mark dengan sengaja mengikuti Hazel yang pergi ke danau sendirian.

Dia tidak bermaksud jahat pada cewek itu, tapi rupanya kehadirannya sangat mengganggu. Awalnya Mark ingin sedikit menghibur tapi justru dia membuat Hazel tidak nyaman. Sejak saat itulah dia putuskan untuk lebih menjaga jarak dengan Hazel dan tak lagi menghampirinya sekalipun tak sengaja bertemu.

Mark bukannya mengingkari ucapannya yang bilang kalau akan terus menunggu Hazel, tapi mungkin bedanya dia tak lagi mengejar cewek itu.

Istilahnya 'Menunggu tanpa mengejar'

Dia dulu memang jahat tapi sekarang dia sudah sadar dan kembali menjadi Mark Skyler yang pertamakali mengenal Hazelica sebagai pacar sepupunya.

Mark tahu kalau Aiden memperlakukan Hazel dengan kasar, jadi Mark pikir kalau Hazel bersamanya dia bisa lepas dari Aiden dan obsesinya. Tapi ternyata pemikirannya salah, Hazel justru semakin sakit karenanya tapi dia tetap egois dengan terus mendekati cewek itu.

Karena pada dasarnya segala sesuatu apapun yang dipaksa itu tidak baik.

"Aiden?,"

Mark berdiri begitu menyadari kehadiran Aiden di apartementnya dalam keadaan basah kuyup.

Aiden memang tinggal bersama Mark di apartement milik Mark sejak Aiden memutuskan keluar dari rumah orang tuanya.

Saat itu mereka memang belum berbaikan. Tapi karena hidayah dan kerendahan hati Mark, dia yang lebih dulu mengajak Aiden berdamai. Tentu tak semudah Mark mencintai Hazel untuk berbaikan dengan lelaki yang lebih keras kepala daripada dirinya sendiri.

"Lo darimana aja hujan-hujanan begini?,"

Yang ditanya seperti itu hanya diam saja dengan wajah datar dan tak bergairah. Sebulan ini keadaan Aiden cukup buruk, cowok itu sering ikut balapan liar dan berakhir mabuk pulangnya.

Bahkan pernah satu kali Aiden berakhir dikantor polisi malam-malam dan itu membuat Mark kesulitan sendiri, beruntungnya cowok itu bisa mengatasi semuanya tanpa membuat Aiden harus mendekam lama dibalik jeruji.

"Besok gue bakal terbang ke Kannada,"

Kali ini kalimat Mark berhasil membuat langkah kaki Aiden urung, cowok itu berbalik badan menunda keinginannya untuk segera pergi ke kamar.

"Gue mau lo berubah den, tolong jadi Aiden yang dulu,"

"Yang dulu sakitin ceweknya terus? Sampe buat dia mati sekarang?," Aiden menyela dan terkekeh renyah dengan sudut bibirnya yang sedikit tertarik.

Seandainya Hazel masih ada, mungkin sudah lama Aiden mengajak Hazel pergi dari kota ini. Usia tak lagi menjadi alasan untuknya menunda hal itu, keduanya sama-sama ingin terbebas dari belenggu rasa yang menyayat.

"Semuanya bukan salah lo, jangan buat dia sedih dengan liat diri lo yang sekarang. Bukannya Hazel udah cukup sakit? Gue juga sama kayak lo yang banyak salah ke dia, gue sering buat dia sakit dan buat kalian berantem,"

Aiden memainkan lidahnya diujung geraham sembari menatap remeh,"Udah ngomongnya? Ya kalau lo mau pergi, pergi aja, gue juga nggak akan tinggal disini lagi," katanya dengan santai.

Melihat reaksi menyebalkan itu Mark jadi tersulut,"Dewasa dikit bisa nggak sih lo? Sekali-kali lo pikirin diri lo sendiri! Sekarang liat diri lo! Lo bahkan nggak bisa jaga kesehatan, gue cuma khawatir kalau besok gue pergi siapa yang bakal perhatiin lo disaat hubungan lo dan orang tua lo juga lagi nggak baik,"

"Kenapa lo peduli? Gue udah mau mati," lagi-lagi Aiden menjawab enteng seakan tanpa beban.

"Dengan lo mati nggak akan buat lo ketemu Hazel, seenggaknya bertahan buat hal-hal kecil. Siapa sangka kalau ternyata Hazel masih hidup? Emang lo mau buat dia kecewa untuk yang kesekian kalinya?,"

"Nggak perlu ngomongin hal yang nggak akan pernah terjadi, gue nggak butuh hiburan dari lo!," ketus Aiden.

Memang terdengar seperti bujukan untuk anak kecil, tapi Mark kira ucapannya tidak sepenuhnya salah. Toh, tidak ada yang menemukan jasad Hazel, jadi masih ada kemungkinan kalau perkataannya itu benar meski kemungkinannya itu hanya satu persen.

"Kalau nantinya kehidupan kedua itu ada gue bakal request ke tuhan buat satuin kalian lagi dengan banyak kebahagiaan," Mark menepuk bahu Aiden sebelum akhirnya berjalan melewati laki-laki itu.

"Sekarang gue nggak bakal maksa lo, jadi gimana sama tawaran gue?,"

"Ini udah ke berapa kalinya gue nolak lo? Mark?,"

Mark tertawa kecil,"Tiga puluh satu kali sekarang," ucap Mark masih diiringi tawanya.

"Mau sampai kapan?,"

"Sampai hari itu tiba,"

Cuplikan adegan terputar jelas diingatan Mark,"Sebentar lagi hari itu akan tiba zel, hari dimana gue bener-bener akan lupain rasa gue ke lo dan hari dimana gue akan tinggalin semua kenangan tentang lo di kota ini. Tapi satu hal yang nggak akan gue lupain dari lo, lo satu-satunya cewek kuat yang pernah gue kenal. Hazel dimanapun sekarang lo berada, gue cuma mau pamit," batinnya berseru.

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang