17. Ready for everything?

719 37 0
                                    

"Tadi dua kakak kamu juga tidak sekolah,"

"Hah? Kenapa pak?," Hazel terkejut heran.

Dan pak Liam justru menampilkan kerutan dahinya,"Loh bukannya Jevano sakit? Memang kamu tidak tahu?,"

"Oh? Eh iya, terus yang--,"

"Jarrel? Anak itu tidak ada izin tidak tahu kemana," jawab pak Liam seadanya.

"Emang bapak nggak tahu dia dimana?," Hazel justru heran, bukankah sekolahnya begitu disiplin? Bahkan pada setiap satu muridnya, guru akan cari tahu apa yang membuat muridnya itu bolos.

"Semua guru bahkan tidak ada yang tahu, Jarrel itu anak yang penuh kejutan dia lebih baik dihukum ketimbang harus menjelaskan,"

Hazel cukup tertegun mendengar perkataan pak Liam. Entah mengapa rasanya Hazel semakin yakin kalau tadi ada Jarrel, dia juga masih ingat jelas sewaktu dipinggir jalanan sepi ada dua lelaki biadab yang mengganggunya dan Jarrel tiba-tiba datang menolongnya, sampai akhirnya dua lelaki brengsek itu kabur. Meski setelahnya Hazel tak sadarkan diri karena tubuhnya yang semakin lemas.

Taxi sampai didepan mansion keluarga Mahanta, Hazel merasa tak enak karena sudah merepotkan pak Liam.

"Nggak mau mampir dulu pak?," tanya Hazel berbasa-basi.

"Lain kali ya zel, bapak masih banyak urusan,"

"Oh gitu, makasih ya pak udah anter saya pulang," pinta Hazel tulus, ya.. meskipun dia sendiri enggan untuk pulang sebenarnya.

Pak Liam mengangguk,"Iya Hazel, cepat sembuh ya? Sampaikan salam bapak juga ke orangtua kamu,"

"Siap pak!," Hazel memberi hormat persis seperti saat hormat pada tiang bendera membuat pak Liam terkekeh melihat tingkah siswinya itu.

Hazel memang anak yang periang diluar masalah yang tengah dihadapinya, gadis itu terlalu pandai menutupi lukanya dihadapan semua orang. Terkecuali certain people.

Hazel keluar dari taxi, dia masih berdiri diluar menunggu taxi pak Liam melaju meninggalkan pekarangan rumahnya. Gadis itu membuang nafasnya kasar, dia berbalik menatap pagar yang menjulang tinggi dihadapannya.

"Hazel!,"

Hazel berbalik badan,"Eh iya? Kenapa?," dilihatnya seorang cewek yang berdiri diseberang jalan melambai lalu berjalan cepat mendekatinya membuat keinginannya masuk kedalam rumah jadi urung.

"Ini tadi ada cowok yang nitipin tas lo ke gue, katanya dia buru-buru makanya nggak sempet masuk," cewek yang terlihat sepantarannya itu menyodorkan sebuah tas berwarna baby blue milik Hazel yang diterima senang oleh sang pemilik.

"Oh iya, makasih yaa Aluna,"

Cewek yang Hazel panggil Aluna itu tersenyum sebelum akhirnya terheran sesuatu,"Tangan lo kenapa zel?,"

Refleks Hazel menyembunyikan lengannya kebelakang tubuhnya,"Emm.. ini cuma jatoh pas jam olahraga tadi kok, luka kecil doang,"

"Ohh yaudah deh kalo gitu gue balik ya," dengan intonasi sedikit ragu Aluna mengangguk saja dan pamit pulang dengan lambaian kecil yang dibalas oleh Hazel.

Hazel menghela lega, untung saja tetangganya itu tak banyak bertanya jadi Hazel tak perlu memutar otak untuk berbohong banyak hal yang masuk akal seperti tadi saat pak Liam bertanya.

Hazel membuka tasnya mengecek apa ada barangnya yang tidak ada didalam sana, tapi ternyata semuanya lengkap dan baik-baik saja. Kenapa Mark berbaik hati? Tumben sekali cowok itu.

Sekarang tidak ada pilihan lain selain kembali kerumah yang hampir tujuh belas tahun Hazel tinggali. Dia harus meminta kejelasan dari mama papanya, kalau memang benar Hazel bukanlah anak kandung, Hazel siap pergi dari sana. Dia tidak mau menjadi beban orang yang bukan siapa-siapanya. Setidaknya dia sudah tau semua sebelum usianya tepat tujuh belas tahun.

"Lo harus siap Hazel, lo kuat! Pasti!," katanya meyakinkan diri sendiri sebelum benar-benar masuk ke pekarangan luas milik keluarga bermarga Mahanta itu.

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang