Pagar rumahnya dibuka, Hazel menatap rumah besar dihadapannya dengan perasaan tak karuan. Dia kemudian menarik nafas lalu membuangnya mencoba merilekskan diri. Hazel yakin Hazel bisa melewati semuanya.
Ini sudah malam dan dia baru pulang dari danau diantar oleh Aiden. Sebenarnya cowok itu memaksa untuk masuk ke rumahnya juga, tapi Hazel melarangnya. Hazel tidak mau Aiden jadi berurusan dengan papanya. Meski niat Aiden sebenarnya ingin membela dan melindungi Hazel.
Langkah kaki jenjang Hazel mulai memasuki teras rumahnya, cewek itu berusaha meyakinkan diri sebelum benar-benar membuka pintu utama rumah keluarga Mahanta.
Tidak ada siapapun, sepi. Hanya sebagian pekerja rumah yang tengah bertugas.
Memang Hazel berharap apa? Rumahnya memang selalu sepi. Meski usai makan malam bersama, semua anggota keluarga langsung sibuk dengan urusan masing-masing.
'Rumah dibangun untuk menciptakan lapangan kerja'
Rasa-rasanya kalimat itu jauh lebih cocok, melihat didalamnya tidak ada kehidupan yang semestinya.
Saat Hazel ingin menaiki anak tangga, tak sengaja pandangan matanya bertemu dengan seorang cowok berpakaian serba hitam. Jaket hitam, kaus hitam, celana jeans hitam.
Tidak tahu apa yang seringkali membuat Jarrel keluar malam. Bahkan pernah satu kali Hazel dapati Jarrel pulang jam dua dini hari. Sebenarnya apa yang cowok itu lakukan diluar? Kenapa? Dan apa alasannya? Jarrel itu lebih dari teka-teki tersulit yang tidak bisa terpecahkan.
Seperti dua orang asing, keduanya saling melewati begitu saja tanpa sapa, padahal keduanya juga seringkali bersitatap meski dalam jarak jauh.
Saat Hazel berjalan ingin cepat-cepat sampai kamarnya, suara perdebatan diiringi tangisan berhasil menyita perhatiannya. Tepat dari kamar orangtuanya.
Hazel melangkah sedikit mundur, karena kamarnya dengan kamar orangtuanya memang berlawanan arah.
"Mau sampai kapan? Hazel itu anak kandung kamu! Setidaknya jangan lukain dia demi aku,"
"CUKUP!,"
"Luka itu masih ada Nadia bahkan meninggalkan bekas!,"
"Aku udah sering bilang kalo semuanya itu nggak bener, fitnah! Kenapa sampai sekarang kamu masih percaya?,"
"Jangan coba cari celah kalau semua bukti itu ada!,"
"Jangan siksa dia lagi aku mohon..," terdengar suara isak tangis mamanya, Nadia.
"Saya sudah memaafkan kamu tapi tidak dengan anak itu!,"
"Tapi dia memang anak kandung kamu darah daging kamu, dia tidak salah, tolong berhenti. Sudah cukup semuanya..," masih dengan sesenggukan mamanya itu berucap.
"Berhenti memohon kepada saya untuk dia! Kalau kamu tidak mau anak si bajingan itu aku musnahkan!,"
Hazel menutup mulutnya menahan suara tangis. Kepalanya menggeleng-nggeleng berusaha menolak apa yang barusan dia dengar.
Apa maksud mereka? Jadi Hazel bukan anak kandung papanya?
Kedua kaki Hazel bergetar lemas dia rasanya tidak sanggup untuk sekadar membawa tubuhnya menjauh dari tempatnya berdiri.
Dengan isak tangis Hazel memundurkan langkahnya ingin cepat-cepat pergi, tapi baru saja dia berbalik ada cowok tinggi bersetelan rumahan berdiri dibelakangnya. Terlihat beberapa lebam yang membekas diwajah tampannya itu.
Dia Jevano, cowok itu menatap Hazel yang entah apa maksud dari tatapannya. Hazel tidak bisa untuk sekadar berpikir saat ini, perasaannya benar-benar kacau, dunianya sudah hancur.
Masih dengan sisa tenaga Hazel memaksakan kakinya untuk berlari kuat menuruni anak tangga. Tidak peduli kalau dia sama sekali belum mengganti seragamnya sejak tadi.
Yang Hazel pikirkan sekarang hanyalah ucapan Kai tadi, apa semua itu benar?
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 Schmerz _________________________________________ 'Skenario itu takdir' "Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," "Lo bener bener ya! Minta ma'af sekarang atau lo bakal dap...