Hazel meringkuk dibawa selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, dia terisak pelan. Gadis itu masih mengingat jelas perdebatan orangtuanya, dia sakit hati.
Tidak dianggap oleh papanya dengan alasan yang cukup menghancurkan perasaan Hazel dengan sehancur-hancurnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana nantinya.
"Kenapa nasib gue harus kayak gini," monolognya sembari menjambaki rambutnya yang sudah berantakan. Rasanya dia akan semakin gila.
Gadis yang masih berseragam sekolah lengkap itu terpaksa tetap berada dikamar itu, tepatnya apartment Mark.
Dulu sewaktu Aiden dan Mark masih berteman baik, Hazel pernah dibawa oleh Aiden ke apartment milik Mark. Yang Hazel tahu Mark masih tinggal bersama keluarganya dan apartment ini memang kosong, hanya sesekali ditempati oleh cowok itu makanya Aiden meminta tolong pada Mark agar memberi tumpangan untuk Hazel. Waktu itu Hazel benar-benar kalut dengan keadaannya, kalau saja tidak ada Aiden yang membawanya mungkin Hazel lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya saat itu juga.
Karena hubungan sepupu jauh kedua cowok itu, membuat Hazel juga mengenal Mark sampai akhirnya Mark dengan gamblang menyatakan perasaannya pada Hazel.
Suara kunci yang dibuka seketika membuat isakan Hazel berhenti, gadis itu bangun dari posisinya sembari mengusap air matanya dengan gerakan cepat. Itu pasti Mark.
"Gimana keadaan lo?,"
"Gue mau pulang,"
"Pulang kemana? Emang masih punya rumah lo?,"
"Maksud lo?," Hazel mengernyit bingung mendengar pertanyaan Mark yang menurutnya cukup teka-teki.
Mark menghela nafas berat,"Ini udah malem dan diluar bahaya buat lo!,"
"Mark! Bisa nggak sih lo jangan kayak gini, gue tau lo suka sama gue tapi gue punya Aiden dan Aiden itu masih sepupu lo!," bentak Hazel emosi.
"Sepupu jauh maksud lo?," Mark terkekeh ringan mendengar ucapan gadis dihadapannya.
"Lo dan dia itu nggak cocok, hubungan kalian itu toxic! Yaa.. gue disini sebagai penengah aja, siapa tau lo putusin dia dan pacaran sama gue," Mark terlihat mengedikkan bahu acuh dengan kedua tangan masuk kedalam saku celana.
"Jangan mimpi!," ketus Hazel tak suka.
"Malem ini lo bisa tidur disini zel untuk besok terserah lo mau kemana,"
"Markk..,"
"Soal Aiden lo tenang aja dia nggak bakal tau karena kali ini gue nggak akan kasih tau dia, kecuali..," cowok itu menjeda kalimatnya,"..kalo lo nekat pergi dari sini," lanjutnya.
"Aiden bakal lebih marah sama lo Maarkk," terang Hazel sambil memukul-mukuli kasur frustasi.
"Sama gue apa sama lo zel? Lo takutkan sama pacar gila lo itu?,"
Hazel menunduk dia diam saja tak membalas pertanyaan Mark yang lebih seperti sebuah pernyataan. Hazel tidak tahu dari mana Mark mengetahui semua hal lebih dari yang Hazel tahu. Semua ucapan Mark bagai teka-teki yang begitu nyambung dengan banyak hal.
"Gue dikamar depan kalo ada apa-apa panggil aja,"
Setelah mengatakan hal itu Mark keluar dari kamar yang Hazel tempati tanpa mengunci pintunya dari luar.
Benar kata cowok bernama Mark itu, diluar terlalu bahaya untuknya. Lagipula Hazel mau kemana? Selain tidak punya siapa-siapa Hazel juga tidak punya rumah. Terlebih ponselnya mati.
Kalau pun nantinya Hazel meminta tolong pada Aiden, cowok itu pasti tidak diizinkan oleh Mamanya untuk membawanya kerumah. Mengingat pertemuan pertamanya dengan keluarga Aiden tak memberi kesan baik.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 Schmerz _________________________________________ 'Skenario itu takdir' "Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," "Lo bener bener ya! Minta ma'af sekarang atau lo bakal dap...