38. Feel guilty

552 23 1
                                    

Tepat diruang IGD Aiden selesai ditangani, usai dokter memeriksanya Hazel dibolehkan masuk untuk menemui Aiden. Tapi sayangnya cowok itu belum juga sadar dari pingsannya.

Hazel masih menangis sambil memegangi telapak tangan Aiden dan mengusapnya lembut berharap Aiden segera bangun. Dengan sedikit keberanian Hazel bergerak mencium punggung tangan Aiden, cewek itu merasa bersalah.

Gara-gara melindungi Hazel, Aiden jadi terluka. Tanpa merasa bersalah karena sudah salah sasaran, Kai justru kesenangan ada Aiden disana. Pria tua itu malah berganti mencambuki Aiden bahkan ketika Aiden melawan, Kai ikut membalas dengan pukulan mentahnya.

Karena dibutakan amarah, Kai tak memberi celah sedikitpun untuk Aiden membalas, terlebih keadaan tubuh Aiden sudah sangat memprihatinkan sehabis dicambuk. Jadilah cowok itu jatuh berlutut dihadapan Kai lalu pingsan, dan Hazel segera membawa cowok itu kerumah sakit tanpa peduli Kai.

Bahkan setelah melakukan hal itu papanya sama sekali tidak merasa bersalah saat sempat Hazel tatap. Laki-laki berusia kepala empat itu berlalu masuk kedalam rumah begitu saja tanpa punya rasa tanggung jawab.

Bahu Hazel masih saja bergetar sesenggukan, tadi beberapa perawat menawarkannya untuk mengobati lukanya tapi dengan kekerasan kepalanya Hazel menolak.

Beberapa bagian tubuhnya masih nyeri tapi Hazel tidak begitu merasakannya, dia sungguh tidak peduli. Sekarang yang terpenting untuknya adalah Aiden.

Hazel menoleh terkejut saat pintu ruang IGD didorong cukup kasar. Cewek itu berhenti menangis dan segera menghapus air matanya kasar lantaran melihat siapa yang datang.

"Aiden! Aiden anak saya?," perempuan paruh baya itu berjalan cepat diikuti seorang perempuan lainnya yang ternyata adalah Tami.

Hazel menaruh tangan Aiden perlahan lalu dia berdiri dari kursi dan otomatis menyingkir dari samping brankar karena kedatangan mama Aiden yang terlihat sangat khawatir.

"Aiden kenapa gini? Kamu dipukulin siapa?," mama Aiden itu menangis melihat keadaan wajah hingga lengan anaknya yang lebam-lebam, bahkan seragam sekolahnya pun ikut kotor.

Hazel berjalan mendekat kembali,"Tante ak--,"

"Ini semua pasti karena kamu! Iya kan?!," mama Aiden langsung menoleh menatap Hazel marah.

"Ma'afin Hazel tan," cicit Hazel pelan sambil menunduk bersalah.

"Sudah saya duga! Anak saya itu akan celaka kalau bersama kamu! Lihat kan?!," bentak Arinda, mama Aiden itu menunjuk Aiden seolah memperlihatkan apa yang terjadi pada Aiden sekarang adalah salahnya Hazel.

Dan tanpa berani membantah Hazel terus menunduk, karena nyatanya semua memang salah Hazel.

"Sekarang pergi kamu dari sini," Arinda menunjuk pintu ruangan itu menyuruh Hazel keluar.

"Tapi Aiden--,"

"SAYA BILANG PERGI YA PERGI!," bentakan keras Arinda itu cukup mengagetkan Hazel.

Hazel tidak mau pergi, dia mau menunggu Aiden sampai cowok itu bangun dari pingsannya. Dia harus bertanggung jawab atas kesalahan secara tidak langsungnya.

Saat pandangan Hazel bertemu dengan Tami, terlihat senyuman smirk perempuan itu seakan bangga dengan apa yang terjadi pada Hazel saat ini. Dan Hazel benci melihatnya.

"ANAK SAYA TIDAK BUTUH KAMU GADIS SIALAN! PERGI!," caci Arinda lagi-lagi berteriak kencang. Wanita paruh baya itu menghalangi gerak tangan Hazel yang ingin menyentuh Aiden.

Tangis Hazel kembali pecah saat itu juga, bentakan kasar Arinda adalah penyebabnya. Hazel merasa malu, dia merasa menjadi manusia paling keji sebab tidak ada seorang pun yang menganggapnya baik. Hatinya sangat sakit mendengar mama dari Aiden, cowok yang dicintainya itu mencaci dirinya. Air matanya turun tanpa suara dan Hazel dengar Tami mendecak melihatnya.

Tak lama dari itu, beberapa perawat datang,"Ini ada apa ya? Tolong jangan buat keributan ya bu, kasihan pasien lain jadi ikut terganggu," pinta salah satu perawat itu.

"Usir dia sus, bawa perempuan ini pergi jauh-jauh dari saya dan anak saya! Karena dia adalah perempuan pembawa sial!,"

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang