Dengan langkah pelan Hazel menuruni anak tangga, dari tempatnya berdiri dia sudah melihat keramaian diruang tamu. Disana ada Vania dan Zhiva, sudah Hazel tebak kalau hal ini akan terjadi.
Siang begini papanya sudah dirumah, ya apalagi penyebabnya kalau bukan karena adik dan keponakannya.
Saat kakinya sampai ditangga terakhir Vania datang menyamperinya dan menarik lengannya cukup kasar,"Ini dia anaknya!,"
"Akhh sakit tan, lepas!," dengan sedikit kasar pula Hazel melepaskan pergelangannya dari tangan tantenya.
"Kamu apakan anak saya?,"
Hazel hanya mengangkat sebelah alisnya menatap Vania membuat perempuan itu menggeram kesal karena tak kunjung direspons.
Haruskah semua orang berkumpul menyaksikan penyiksaannya? Atau mereka semua memang mau mengkeroyoknya? Hazel benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran tante Vania dan Zhiva, sebenarnya apa mau mereka sih? Kenapa begitu membencinya?
"Seperti yang udah anak tante bilang," jawab Hazel ogah-ogahan.
Dengan mata berkaca-kaca yang entah betulan atau dibuat-buat, Vania menunjuk Hazel tajam,"Tuh mas! Anak ini memang tidak beretika! Dia selalu bersikap seenaknya dengan Zhiva!,"
Huh?
Kai mengeraskan rahangnya dan memaki kasar,"Keterlaluan!,"
Plak
Satu tamparan mendarat mulus dipipi putih Hazel membuatnya langsung memerah. Rasanya sudah tidak perlu diragukan lagi, sungguh kenikmatan yang tak ada duanya. Panas, perih, nyeri, menjalar dipipinya tanpa izin.
Hazel tersenyum hambar menahan sesak didadanya, dia kembali menegakkan kepalanya menatap Kai dan yang lain yang juga ikut menatapnya.
Apa mereka semua pikir ini sebuah pertunjukan?
"Kamu selalu saja mengganggu Zhiva dan selalu mencari masalah! Tidak suka kalau Zhiva mendapat nilai lebih tinggi dari kamu? Iya?!," sarkas Kai mengambil napas sebentar,"Dasar pendendam," desis lelaki itu dengan menekankan setiap katanya tajam membuat semua juga bisa mendengarnya jelas.
Layaknya daging manusia yang dicabik-cabik oleh harimau begitulah perasaan Hazel saat ini,"Iya, oke! Aku yang salah, aku udah ganggu dia, aku dendam sama dia karena dia dapet nilai tinggi! Puas kalian?!,"
Plak
"Saya tidak menyangka ini, Hazel!,"
Kedua, satu pipinya kembali ditampar tapi dengan orang yang berbeda. Zhiva terlihat semakin puas setelah Vania berhasil menampar Hazel. Gadis licik itu tersenyum sinis dibalik topeng sok lugunya saat sekilas Hazel meliriknya.
Zhiva punya banyak orang yang mau membelanya mati-matian, sedangkan Hazel? Yang ada malah banyak orang yang menginginkan kematiannya.
Bahkan mama dan kedua kakaknya hanya diam saja menyaksikan. Tidak salah kan, kalau Hazel beranggapan dia tidak punya siapa-siapa didunia ini?
Pulang sekolah tadi Hazel baru merebahkan tubuhnya setelah minum obat demam yang diberi oleh bi Mina, dia ingin istirahat sejenak tapi semua orang seakan membenci ketenangannya dengan cara mengusiknya.
"Udah?," tanya Hazel menatap satu persatu manusia yang berdiri disana, lantas semuanya dibuat bingung dengan arti tatapan Hazel.
"Kalo masih ada yang mau nampar silakan, tampar aja bebas berapa kalipun. Sampe lecet juga oke,"
Karena hening tak ada yang bersuara Hazel sok berpikir sebelum kembali melanjutkan kalimatnya,"Emm atau kalian mau yang lain? Aku ambilin pisau ya?," tawarnya ramah, namun langsung kembali terbungkam saat Kai membentaknya.
"Cukup! Sekarang ikut saya!," Kai menarik Hazel, menyeret gadis itu pergi dari sana meninggalkan semua orang dengan segala rasa penasaran mereka.
Brakk
Pria yang tak lagi muda itu mendorong Hazel hingga tubuh gadis itu jatuh menabrak tumpukan kardus yang beruntungnya kosong.
Hazel terbatuk lantaran debu didalam ruangan yang terbilang lebih kecil dari ruangan lain dirumah ini begitu banyak.
"TIDUR DISINI!,"
"Tapi pa,"
Kai mengangkat telapak tangannya mengisyaratkan Hazel untuk diam. Kemudian lelaki itu langsung meraih pintu dan menguncinya dari luar. Hazel menyusulnya menggedor-nggedor kuat ruangan berdebu, sempit, nan redup ini.
Gudang kotor, Hazel dikunci didalamnya. Dia langsung menumpahkan air matanya setelah cukup lama menahannya didepan semua orang tadi.
Meow.. Meow.. Meow..
Terdengar suara kucing yang sangat Hazel kenali dan itu jelas kucing miliknya, kucing yang Hazel rawat dengan sepenuh hati.
"Emoonn..," lirih Hazel sesenggukan. Dia harap Emon mau menemaninya didepan pintu sana, setidaknya Hazel tidak akan kesepian, sampai Kai berbaik hati untuk membebaskannya, yang entah kapan itu.
Sekarang Hazel merasa hanya Emon yang memahami keadaanya, yang peduli padanya, yang selalu bisa menghiburnya, dan yang mengisi waktu kesendiriannya bersama kegalauan. Meski hanya seekor kucing kecil alias hewan, Hazel merasa sangat beruntung memilikinya.
Masa bodo dengan siapa orang yang telah memberikannya, Hazel anggap itu adalah hadiah pertama dan terakhir dari Jarrel pada interaksi pertama dan terakhir mereka. Mungkin?
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 Schmerz _________________________________________ 'Skenario itu takdir' "Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," "Lo bener bener ya! Minta ma'af sekarang atau lo bakal dap...