67. No passion for life

344 21 3
                                    

"Makasih,"

"Nggak perlu makasih, yaudah gih masuk,"

Mengangguk samar, Hazel berbalik memasuki rumahnya meninggalkan Aiden yang masih berada ditempatnya.

Apa kali ini Hazel salah? Apa dia terlalu bodoh?

Sungguh berpura-pura benci bukan hal yang mudah bagi Hazel, apalagi harus menjauh. Jangan salahkan diri Hazel, salahkan saja perasaannya.

Hazel memang gadis terbodoh dalam perihal Aidennya!

Berada lama di cafe bersama Aiden dan berbincang cukup banyak hal membuatnya melupakan kejadian beberapa jam lalu yang dia saksikan. Pikirannya memintanya pergi tapi hatinya membisikkan kata jangan.

Hujan datang seakan tahu cara meminta Hazel untuk tetap singgah disana. Iya, alasan lainnya karena dia terjebak hujan berakhir dia terpaksa harus menunggu hujan reda.

Meski harus sampai petang?

Suara isak tangis terdengar dirumah itu, Hazel terkejut saat matanya menangkap sosok wanita yang meringkuk di bawah sofa.

Hazel berjalan mendekat tanpa menimbulkan bunyi pijakan sepatunya. Dia berjongkok dihadapan wanita itu,"Maa..," beo Hazel.

Yang dipanggil seperti itu seketika menghentikan isakkannya seraya mendongak, Hazel tersenyum hangat ditatap sang mama.

Bruk

Gadis itu terdorong ke belakang dan jatuh terduduk, mamanya yang barusan mendorongnya. Meski tak terlalu kuat, tapi hal itu cukup mengagetkan Hazel. Lalu dia mendongak menatap mamanya yang sudah bangkit dengan mengelap pipinya juga matanya yang terlihat sudah membengkak, apa mamanya terlalu lama menangis?

Tak menghiraukan Hazel, Nadia pergi begitu saja.

Segera berdiri dari posisinya, Hazel memandang sendu punggung Nadia yang semakin menjauh dari penglihatannya.

"Kapan mama mau peluk Hazel?,"

Setetes air bening lolos dari sudut matanya, satu hal itu tak pernah berhenti Hazel harapkan, mamanya memang selalu bersikap acuh padanya.

"Dari mana aja lo?,"

Buru-buru Hazel menyeka air matanya dan berbalik, mengetahui kehadiran Jevano membuatnya mendengus malas,"Urusan lo?,"

Cowok bersetelan khas rumahan itu berjalan mendekat,"Kebiasaan, murah banget jadi cewek," kekehnya remeh.

Sejenak dada Hazel terasa sesak,"Lo cowok, tapi kenapa mulutnya jahat banget ya?,"

"Oh ya?,"

"Gausah ngajak ribut sekarang," tanggap Hazel malas.

"Siapa juga mau ribut,"

"Terserah!," ketus Hazel sambil berlalu begitu saja.

"Jangan lupa besok ada acara makan malem!,"

Hanya merotasikan bola matanya, Hazel terus melangkah menaiki anak tangga meninggalkan Jevano yang masih meneriakan kalimat pengingat untuknya.

Makan malam? Makan malam apa yang dimaksud? Apapun itu Hazel tidak mau memusingkannya.

Terlalu sibuk berpikir membuat tubuhnya menabrak sesuatu yang keras. Hazel memundurkan kakinya lalu mendongak.

Cowok tinggi berpakaian serba hitam itu menatapnya tajam, tapi langsung membuang pandangannya begitu Hazel balas menatap.

Tanpa mengatakan sepatah katapun cowok itu berjalan melalui tubuh Hazel, membuat gadis itu berbalik badan dengan cepat.

"Jarrel,"

Panggilan Hazel berhasil menghentikan langkah cowok yang menjadi lawannya tabrakan tadi.

"Harus secepet ini ya? Gue udah nggak bisa peluk lo lagi? Ternyata lo nggak beneran sayang sama gue?," lirih Hazel tersenyum getir tak kuasa menahan pertanyaannya.

Tanpa berbalik sedikitpun Jarrel berucap tajam,"Nggak ada luka yang lebih sakit melainkan hasil dari sebuah pengkhianatan," 

Hazel mengangguk-ngangguk,"Selama ini gue salah nilai kalo lo itu cowok yang dewasa, tapi ternyata lo nggak peduli, sekalipun itu bukan kesalahan gue, mama yang berbuat tapi gue yang disalahin. Salah banget kayaknya kehadiran gue,"

"Emang,"

"Ma'af, yaudah gue nggak lagi ganggu lo," cicit Hazel berusaha menahan sesak yang kian membebaninya.

Mengedikkan bahunya acuh, Jarrel kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan. Cowok itu benar-benar sudah tidak peduli pada Hazel hanya karena satu perselisihan yang menyebabkan seribu penderitaan untuk Hazel.

"Seberat apapun beban dipundak lo, lari ke gue, cari gue buat minta peluk, seenggaknya itu bisa buat lo sedikit tenang,"

Hazel menundukkan kepalanya lesu, jadi semua kalimat itu hanya bohong ya?

Semakin lama hidup rasanya hanya kehampaan yang meliputi, Hazel kesepian. Dunianya bak dililit awan hitam yang tak ada setitik cahaya pun.

Hazel semakin tak punya gairah hidup. Selain lelah dia juga sudah malas.

Tuhan, boleh dia istirahat?

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang