39. Police station and hunch

515 24 1
                                    

Hari sudah larut malam, keadaan jalan raya selalu padat pengendara. Udara malam terasa lebih dingin dan semakin dingin, langit yang nampak lebih gelap dari biasanya itu mengeluarkan kilatan cahayanya.

Tanda hujan akan turun, Hazel masih berdiri dihalte mencari kendaraan umum yang lewat. Sampai tak lama kemudian dia berhasil menghentikan sebuah taxi berwarna biru, taxi tanpa ada penumpang didalamnya.

Gadis itu menoleh sebentar menatap rumah sakit yang hampir dua jam lalu dia singgahi lantaran menunggu Aiden sadar. Dengan berat hati Hazel menghembuskan napasnya, gadis itu berjalan masuk membuka pintu belakang taxi masih tak melepas pandangannya dari gedung tinggi rumah sakit.

Hazel masih memakai hoodie couple yang dikasih oleh Aiden untuknya. Tadi Arinda mengusirnya, mendorongnya keluar, bahkan tak segan memanggilkan satpam untuk menyeretnya pergi. Memilih untuk pergi sendiri, Hazel akhirnya terpaksa keluar dari rumah sakit itu. Saat diluar pun tiba-tiba Tami menyusul langkahnya, cewek itu datang hanya untuk menambah sakit hatinya.

"Kasihan, diusir kan lo? Makanya jadi cewek jangan kepedean, lo pikir keluarga Aiden ngerestuin hubungan kalian? Mimpi kali ya,"

Tami bersikap sok kasihan padanya dengan kesinisan tawa remehnya dan saat itu Hazel memilih untuk diam saja ketimbang meladeninya.

Masih mengingat kejadian beberapa saat lalu, gadis itu terus menatap keluar kaca mobil, sampai tanpa sadar air matanya kembali mengalir membasahi pipinya.

"Mbak gapapa?,"

Sedikit terkejut Hazel menegakkan duduknya menatap driver taxi yang barusan bertanya dan menatapnya lewat kaca depan. Hazel spontan menghapus air matanya dengan gerakan cukup kasar, dia kemudian menggeleng dan tersenyum kecil menatap driver taxi itu.

Karena jarak perumahannya dengan rumah sakit tidak terlalu jauh, taxi lebih cepat sampai. Hazel segera membayarnya lalu keluar dari taxi yang drivernya adalah seorang wanita paruh baya.

Seperginya taxi itu, tiba-tiba hujan turun deras. Hazel segera masuk saat satpam membukakannya pagar, gadis itu berlari cepat sampai di depan teras rumah.

Saat pintu utama digapainya, seseorang keluar dari sana menghalangi langkah kakinya untuk masuk.

"Nggak malu pulang kesini?," pertanyaan sarkasme Jevano itu menghadirkan tatapan malas Hazel.

"Jangan masuk lo!,"

"Apaan sih," Hazel menepis lengan Jevano yang menghalangi pintu, tapi bukannya menghindar Jevano justru meraih pergelangan tangan Hazel dan menyeret gadis itu untuk keluar. Hazel berusaha melepasnya tapi tidak bisa.

"Semuanya gara-gara lo, sialan!,"

"Maksud lo apa?!," Hazel meninggikan intonasinya mengikuti bentakan Jevano yang barusan membuang tangannya kasar.

"Lo denger ya, papa sekarang ada dikantor polisi dan itu karena lo sama pacar lo itu!," tunjuk Jevano tepat diwajah Hazel dengan tatapan tajamnya.

Jantung Hazel berhenti berdetak sesaat, dia melotot terkejut mendengar penjelasan Jevano barusan,"Papa? Papa kenapa? Kenapa dia disana?," cecar Hazel sungguh tak mengerti akan ucapan Jevano, lelaki itu tak menjelaskan apa yang sedang terjadi secara detail.

Tapi perasaan Hazel mengatakan suatu hal sedang terjadi, tentunya bukan hal baik. Dan Hazel harap firasatnya itu salah, ya semoga saja.

"JANGAN PERNAH LO BERANI MASUK SAMPAI PAPA BALIK!,"

Jevano mendorong tubuh Hazel keluar dari teras membuat tubuh gadis itu terguyur hujan deras. Hazel mendesis pelan merasakan perih ditubuhnya yang masih terbalut seragam dan hoodie, itu karena lukanya terkena air hujan. Cowok tinggi itu kemudian kembali berjalan masuk yang langsung dibuntuti oleh Hazel, tapi sayangnya Jevano lebih dulu menutup pintu dengan kencang membuat Hazel sedikit terlonjak.

Gadis itu meluruhkan tubuhnya jatuh diatas lantai dan menangis, punggungnya menempel pintu dengan tangan yang masih menggedor-nggedor pintu berbahan dasar kayu itu berharap Jevano membukakan pintu untuknya.

"Gue cuma mau tau papa kenapa..," isak Hazel dengan bahu bergetarnya.

Tbc.

𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang