Sejak dikabarkan kalau Hazel hilang Aiden mengurung diri dikamar. Dia merusak semua benda yang ada dikamarnya hingga membuat Arinda marah besar, meski begitu Aiden tidak peduli. Lelaki itu tetap mengunci pintu kamarnya.
Daviandra sama sekali belum pulang, terakhir kali Aiden berpapasan papanya saat ingin mencari Hazel. Karena itu mamanya lah yang terus sibuk membujuknya agar mau keluar kamar, bahkan tak segan memanggil Tami.
Awalnya suasana kamar berantakan itu begitu hening karena pemiliknya masih meringkuk dibawah selimut diatas lantai yang dingin. Hari masih terlalu pagi untuk Aiden bangun dihari wekeendnya.
Namun suasana tenang hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba sebuah ketukan kasar berhasil membangunkannya.
"AIDEN!,"
Aiden berdecak mendengar suara berat yang tak lain adalah suara papanya yang tak lama kemudian teriakannya itu disusul dengan suara kunci yang terbuka.
"Ngapain saja kamu? Hah?!,"
Aiden tetap membisu dengan posisi yang sama, sayang sekali telinganya terbuka otomatis mendengarkan setiap ucapan kasar sang papa.
"Menangisi perempuan itu? Cih! Dia bukan pilihan tepat untuk kamu! Sadar! Saya sudah kasih batu berlian seperti Tami kamu malah memilih batu kerikil seperti dia? Otakmu dimana hah?!,"
"Kamu terdidik bukan untuk menjadi lelaki bodoh Aiden!,"
Pyarr
"DENGARKAN SAYA BICARA!,"
Davi menyentak keras didepan wajah Aiden, pria itu juga membanting satu benda pajangan dikamar putranya yang masih tersisa.
Padahal Aiden tidak tuli, lantas suruh dengarkan yang bagaimana yang Davi maksud?
Dengan malas, Aiden menopang berat tubuhnya agar tidak lagi terbaring dilantai. Wajahnya sedikit pucat dengan kedua mata yang membengkak. Apa cowok itu menangis seharian penuh?
"Sudah seharusnya kamu menerima perjodohanmu dengan keluarga Maheswari!,"
Tangan Aiden terkepal dikedua sisi tubuhnya tepat menyentuh lantai yang dingin seakan siap meninju wajah Davi, darahnya berdesir tanda emosinya yang berhasil tersulut. Aiden berdiri sejajar dengan Davi, tapi tingginya tentu melebihi pria dewasa itu.
"Anda tau apa tentang saya? Sejak dulu anda hanya memperalat saya! Anda sudah menjual saya untuk kepentingan pribadi anda, ayah macam apa anda ini? Egois,"
PLAK!
"Aiden!," Arinda yang menyaksikan diambang pintu langsung memekik.
Saking kuatnya tamparan Davi, sudut bibir Aiden sampai berdarah karenanya. Yang semula wajahnya pucat kini memerah semua.
Aiden sungguh membenci papanya. Dia merasa Daviandra bukanlah ayah kandungnya, melihat sikapnya yang selalu seenaknya sendiri memperlakukan dirinya. Seakan jalan hidup Aiden berada dibawa kendalinya.
Kisahnya hampir mirip dengan Hazel. Tak heran kenapa Aiden begitu pengertian pada Hazel, tapi itu dulu. Sebelum Aiden jadi sebrengsek sekarang.
Meski tak memungkiri kalau sikap Aiden juga terbentuk dari orang tuanya.
"Belum bisa menghasilkan apapun sudah berani mengatai saya, menantang hah?! Saya bisa mengusir kamu dari rumah saya!,"
Mulai. Daviandra Biantara mulai membangga-banggakan hartanya, harta yang ia anggap lebih segalanya dari keluarganya sekalipun.
Seakan kekayaan adalah obsesinya.
"Tanpa lo minta gue bakal pergi sendiri dari sini!,"
Detik itu juga, Aiden mengemasi asal pakaiannya dan ia masukkan ke ransel yang biasa dipakai kesekolah.
Aiden keluar dari kamarnya. Melangkah dengan urat-urat leher yang ketara menandakan ia marah tapi harus tertahan.
Tapi jauh disana, hatinya terasa pedih.
"ANAK TIDAK TAHU UNTUNG! PERGI YANG JAUH!,"
Berbeda dengan Daviandra yang terus berteriak memaki, Arinda justru berlari menyusul putra kesayangannya dengan derai air mata yang jatuh sejak tadi keributan terjadi.
Aiden berhenti kala Arinda menahannya.
Dia membuang napas kasar berusaha meredam emosi didepan mamanya, lalu ia genggam tangan lembut terawat itu. Dan bertutur,"Ma Aiden nggak bisa terus-terusan disini, kalau mama mau ikut Aiden, ayo. Kita pergi dari sini,"
"Maaf Aiden tapi mama nggak bisa,"
"Mama nggak bisa hidup tanpa kekayaan? Ma?!," Aiden sedikit menyentak tak menyangka mendengar cicitan mamanya.
Aiden pikir mamanya juga sama saja. Sama-sama gila harta.
"Aiden maafin mama," hanya tiga kata itu yang mampu Arinda ucapkan.
"Cuma karena harta dia yang nggak seberapa mama masih mau diperbudak?,"
"AIDEN CUKUP!,"
Aiden sedikit terkejut dengan bentakan keras mamanya, karena ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Kenapa ma? Bener kan yang aku bilang?,"
Cowok itu begitu menyayangi Arinda tapi mamanya justru lebih memilih tinggal bersama pria gila yang bisa memberinya banyak harta.
Kebutuhan fisiknya akan tercukupi tapi mentalnya cukup teruji.
"Dia papa kamu, tolong jaga bicara kamu," seakan menyadari kekeliruannya, suara Arinda melembut tapi tetap bukan kalimat itu yang ingin Aiden dengar.
"Pantes banget buat disebut papa?," kekeh Aiden sebelum akhirnya benar-benar pergi.
Aiden pergi tanpa satu pun kalimat perpisahan untuk sang mama, dia hanya mencium telapak tangan itu sekejap.
Sekarang tujuan Aiden hanya satu yaitu, mencari Hazel.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 Schmerz _________________________________________ 'Skenario itu takdir' "Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," "Lo bener bener ya! Minta ma'af sekarang atau lo bakal dap...