Tidak ada kabar sama sekali dari Aiden, Hazel juga tidak ingin mengabari cowok itu lebih dulu. Untuk ucapan Hazel tempo hari, Hazel hanya sedang lelah dia hanya tidak tahu harus menghadapi sikap kasar Aiden seperti apa lagi.
Jujur saja Hazel tidak pernah mau melepas Aiden, Hazel ingin Aidennya selalu melindunginya. Bukannya kebanyakan remaja memang labil? Ya itu seperti Hazel dan Aiden. Kedua remaja itu saling dikendalikan emosi, jadi bertengkar mengenai masalah sekecil apapun memang begitu sensitive alias rawan mengucap kata selesai.
Dari sampai disekolah Hazel sama sekali tak melihat batang hidung Aiden, padahal biasanya cowok itu sudah aktif dilapangan entah bermain apapun itu, selagi berbau olahraga. Bahkan saat upacara tadi Hazel juga tak melihat Aiden, hanya beberapa gerombol cowok yang seringkali nongkrong bersama Aiden. Hazel sebenarnya ingin bertanya pada mereka tapi dia terlalu gengsi.
Jam istirahat pertama ini ingin Hazel habiskan didalam kelasnya saja, gadis itu duduk sendirian dibangkunya sedang teman-temannya yang lain sudah melepas diri dari kandang belajar.
Hazel menaikkan lengan kiri cardigan rajut berwarna baby blue yang dipakainya hari ini, disana terukir nama Aiden dengan sangat jelas. Lengannya sudah membaik tidak perih dan sakit lagi karena luka kesengajaan itu sudah mengering dan perbannya memang sudah dilepas setelah dia tenggelam dikolam sore itu.
Gadis itu mengusap lembut sayatan berbentuk beberapa huruf itu,"Meskipun awalnya sakit sekarang rasanya cukup seneng Aiden," monolognya pelan.
Hazel hanya senang ada nama Aiden dilengannya selain dihati dan pikirannya, Hazel memang bucin.
Namun suara tawa sarkas seseorang membuatnya buru-buru menurunkan lengan cardigannya.
Prok prok prok
"Permainan sedang berjalan Hazel," ucap Zhiva setelah bertepuk tangan sembari berjalan perlahan mengitari tubuh Hazel sampai akhirnya gadis itu berhenti tepat dihadapan meja Hazel.
"Gue apresiasi atas kesabaran lo sampai saat ini,"
Lalu tangan Zhiva bergerak ingin menyingkirkan anak rambut Hazel tapi Hazel dengan cepat menepisnya,"Jangan sekalipun berani sentuh gue!," ketus Hazel tajam.
"Gue nanti sama nyokap mau kerumah lo, ups! Maksudnya keluarga Mahanta, nama lo kan nggak ada marga Mahantanya. So, lo bukan bagian dari keluarga itu kan?,"
Brak
Suara tangan Hazel yang memukul mejanya cukup keras dihadapan Zhiva, gadis itu bahkan berdiri dari duduknya,"Terserah!," tekan Hazel menatap tajam mata Zhiva dengan begitu dekat sebelum akhirnya memilih untuk pergi.
"Tunggu!,"
Hazel menghentikan langkahnya dibibir pintu tanpa mau berbalik sedikitpun.
"Siap-siap patah hati Hazel, karena Aiden nggak sesempurna yang lo pikir,"
Dalam diamnya Hazel mengernyit heran tapi dia tak ingin sekalipun berbalik untuk meminta penjelasan pada Zhiva, lagipula ucapan Zhiva hanya omong kosong bagi Hazel. Gadis licik itu memang tidak menyukainya, entah persaingan nilai maupun dalam keluarga.
Zhiva memang pernah menyukai Aiden tapi karena larangan Kai yang tak ingin memiliki hubungan dengan keluarga cowok itu, membuat Zhiva seringkali mengadu yang tidak-tidak pada Kai mengenai hubungan Hazel dan Aiden.
Zhiva pikir jika dia tak bisa mendapatkan Aiden setidaknya dia bisa menyiksa Hazel lewat Kai sebagai pembalasan dendamnya.
Hazel memang membangkang, meskipun Kai tak mengizinkan dia berhubungan dengan Aiden. Hazel tetap melakukannya karena Hazel mencintai Aidennya.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧: 𝐒𝐜𝐡𝐦𝐞𝐫𝐳
Teen Fiction🄹🄰🄽🄶🄰🄽 🄹🄰🄳🄸 🄿🄻🄰🄶🄸🄰🅃 Schmerz _________________________________________ 'Skenario itu takdir' "Anak tidak tahu diri seperti kamu memangnya bisa apa selain menyusahkan saya?!," "Lo bener bener ya! Minta ma'af sekarang atau lo bakal dap...