Umma melewati pintu kamar anak perempuannya. Sekilas ia melihat anak itu masih terbengong menghadap jendela kaca. Terpaksa ia menghentikan langkah kakinya. Pemandangan ini sudah tidak asing dari matanya,setelah perpisahan putrinya dengan suaminya di bandara. Yang membuat Hasna larut dalam hal rindu menunggu temu.
"Assalamualaikum,"Umma memutuskan masuk kedalam,tanpa ada jawaban.
"Nak?" Hasna sedikit terkejut. Tangan Umma yang entah dari mana sudah bertengger di pundaknya.
"Eh Umma," ringisnya lalu ikut duduk di tempat tidur samping Umma.
"Nungguin Hizam?" Puan itu mengangguk.
"Kamu ingat enggak?tujuan kalian pisah rumah,"
Detik itu juga Hasna beristigfar,"untuk saling mematangkan persiapan diri masing-masing."
"Umma ngerti perasaan Hasna. Sulit memang nak,tapi tidak baik kalau kamu menyia-nyiakan waktu seperti itu. Jangan bengong-bengong lagi Putri Umma ya?" Ujarnya lembut sesekali membelai pipi Hasna.
Kata demi kata yang diucapkan Umma meresap kedalam hati Hasna. Benar perkataan Umma. Ia sudah terlalu banyak menyia-nyiakan waktu yang seharusnya ia gunakan untuk belajar.
"Umma ke kamar dulu ya nak," pamitnya meninggalkan usapan kasih sayang di puncak kepala Hasna yang tentu berbalut Khimar.
Hasna tersenyum,senang rasanya memiliki sosok ibu yang selalu mengingatkan dalam kebaikan,"terimakasih Umma."
Hasna langsung meluncur ke meja belajarnya. Siap menyantap setumpuk buku-buku fikih yang menjadi salah satu panduan untuk mempelajari agar menjadi seorang istri yang baik.
Setelah sholat magrib, Hasna memutuskan keluar kamar membantu kedua kakak iparnya menyiapkan makan malam.
"Mba, seorang istri wajib bisa masak ya?" Tanya Hasna di sela-sela memotong bawang.
"Emm gimana ya," mba Dina meletakkan pisau di meja bertopeng dagu.
"Ya tergantung Na, kan bisa aja kita nyewa pembantu atau beli makan di luar. Tapi kita ikhlas tidak?suami kita suka makan masakan orang lain. Kamu tau kan? Bedanya masakan sendiri sama masakan orang lain." Mba Dila mengecilkan api kompor.
"Setuju. Masakan sendiri terbuat dari doa,cinta dan kasih sayang. Sedangkan orang lain?" Mba Dina mengangkat pundaknya sekilas.
"Harus inget juga Na, saling percaya juga penting diantara kalian,"lanjut mba Dila sembari mematangkan masakannya.
"Yang paling penting,saling bersama dan membersamai," sahut bang Hamzah mengangkat kedua alisnya. ia baru saja hadir di dapur bersama bang Hamdan. Lengkap dengan jas yang masih melekat rapi di tubuh keduanya.
Kedua istri yang sedang memasak segera mencuci tangan dan menghampiri suaminya masing-masing. Mencium tangan sebagai sambutan atas kepulangan suaminya dari kantor.
Hasna menghela nafas, memandang jengah bang Hamzah yang memamerkan kemesraan kepada dirinya.
"Bisa gini enggak,Na?" Hasna melirik sekilas bang Hamzah si pemilik suara. Hasna lebih tertarik mendekat ke bang Hamdan. Kesal juga melihat bang Hamzah yang pamer mencium tangan istrinya.
"Bang Hamdan,lihat bang Hamzah tuh," adunya seperti anak kecil yang kehilangan teman mainnya.
"Dih ngadu ke bang Hamdan. Ngadu sono ke kakak Lo Hizam," sahut bang Hamzah yang begitu nyaring di telinga Hasna.
"Zah,"ujar si sulung yang akan terus melindungi si bungsu apapun yang terjadi. Termasuk gangguan dari si anak tengah.
Hasna tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya bang Hamzah mengakui kekalahannya dan menjauh darinya.
"Semangat belajar,Na," Bang Hamdan mencoba memberikan pengertian kepada adiknya. Ia tau, sulitnya berjarak.
Hasna tersenyum mengangguk. Bang Hamdan mengelus kepalanya dengan sayang. Hasna tidak sungkan berhamburan kedalam pelukan Abangnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Nikah Muda
SpiritualCerita ini bukan tentang perjodohan. Bukan juga tentang nikah muda karena sebuah insiden. Tapi ini tentang cerita anak SMA yang berani mengutarakan cintanya dengan akad nikah di usia muda mereka. "Mau hidup bersama meraih jannah-Nya?" "Bismillah Has...