Pagi pertama di ibu kota. Setelah sekian lama Hasna tidak melangkahkan kakinya ke sebuah bilik kotak yang menjadi saksi hidupnya.
Hasna memutar kenop pintu berwarna putih yang bertuliskan 'kamar princess Hasna Afida Agler' dengan ornamen pelangi yang melengkung.
Dinding Warna merah muda yang belum memudar. Boneka kecil sampai besar tersusun rapi di lemari kaca. Serta kasur yang berukuran kecil. Namun, masih gagah membentang di sana.
Hasna berjalan masuk ke dalam. Mengamati setiap inci benda yang tidak bergeser dari tempat semula. Serta debu yang tidak ia rasakan di sana. Hatinya menghangat, melihat kamarnya masih terawat sampai sekarang.
Umma menghampiri Hasna yang duduk di sisi kasur. memeluk erat boneka beruang coklat kesayangannya. Dengan pandangan yang sedang menerawang jauh.
Umma duduk di sebelah Hasna dengan buku album milik Hasna di tangannya. Atensi Hasna langsung tertuju pada buku itu. Ia tersenyum geli melihat tulisan tangannya di sana. Saat Umma membuka halaman pertama. 'Hasna si cantiknya Baba dan Umma' seperti itulah tulisan yang tertera sebagai judul di sana.
"Anak kecilnya Umma. Sekarang sudah sebesar ini ya,"tutur Umma memandang foto Hasna di halaman kedua yang sedang tersenyum lucu dipelukan Baba. Lalu berganti dipandang Hasna yang sekarang duduk disampingnya. Yang sedang tersenyum malu-malu hingga semburat kemerahan muncul di pipi mulusnya.
"Dulu kamu waktu kecil, takut banget sama yang namanya kamera. Pasti kalau foto kamu harus digendong Baba atau Umma," lanjut Umma membalik halaman selanjutnya.
"Ih Hasna cemong banget Umma,"rengek Hasna melihat gambar dirinya dengan pipi yang berlumuran coklat.
"Ini kamu umur 3 tahun. Udah enggak takut sama kamera. Tuh kamu lagi iri sama bang kembar waktu difoto Baba. Kamu ngerengek minta difoto juga. Mana gitu enggak mau dilap dulu bekas coklatnya,"ucap Umma tersenyum geli.
"Umur segitu kamu udah suka main air. Apalagi kalau hujan, udah deh pasti kamu paling pertama keluar buat hujan-hujanan,"lanjut Umma membalik halaman selanjutnya.
Hasna termenung, menatap semua gambar yang terabadikan itu. Semakin dibalik halamannya semakin hati Hasna tersentuh. Dirinya merasa bersyukur pernah menjadi orang yang paling bahagia sedunia.
Masa kecil Hasna memang seindah itu, sampai tidak ada luka yang Hasna kenang didalam ingatannya. Hanya saja proses menuju remajanya tanpa hadirnya seseorang itu. Yang membuat diri Hasna sulit berdamai dengan luka yang mengubah semua keadaan.
Halaman sudah habis dibalik Umma. Umma juga yang menutup buku itu dan meletakkan di nakas.
Umma menggenggam kedua tangan anaknya,"terimakasih ya,kamu mau kembali pulang ke rumah ini."
"Bagi Hasna, pulang itu keharusan Umma. Bukan keputusan ataupun pilihan,"jawabnya tersenyum menatap Umma.
"Umma boleh nanya sesuatu?" Ijinnya.
Hasna menganggukkan kepalanya ragu.
"Hasna udah ikhlasin Baba?"tanya Umma memegang kedua pipi anaknya dan menatap manik mata Hasna yang kini begitu ketara menahan air mata.
Hasna memalingkan wajahnya dari Umma. Air matanya berhasil lolos begitu saja. Namun hisak tangis masih ditahan. Ia berusaha mengatur nafasnya. Bibirnya bergetar harus menampilkan senyum yang penuh kepura-puraan.
"InsyaAllah, Hasna udah ikhlasin Baba,Ma,"jawab Hasna tidak berani menghadapkan wajahnya pada Umma dan hisak tangisnya begitu terdengar memilukan.
"Gapapa nangis aja,"bisik Umma memeluk Hasna yang langsung meledak banjir air mata.
"Umma. Hasna kangen Baba,"adunya disela sesegukannya.
Umma tertegun,Pilu mulai menjalar di sekujur hatinya. Setelah sekian lama,ia kembali mendengar putrinya bertutur kata seperti itu.
"Ikhlas bukan berarti melupakan Nak. Gapapa pelan-pelan aja," petuah Umma memeluk dan mengusap punggung rapuh seorang Hasna.
"Hei,Anak Umma ini hebat banget ya, terimakasih sudah mau bertahan sampai sekarang. Sampai kapanpun ingat,Umma sayang selalu sama Hasna,"ucap Umma memegang kedua pipi anaknya. Menghapus air mata yang masih deras mengalir. Ia kagum atas perjuangan anaknya yang berusaha pulih dari kesedihannya.
"Yang sudah terjadi,biarin terjadi ya nak. Umma enggak paksa kamu untuk lupain aja. Umma minta biarin aja semua itu berada dihalamannya. Jangan kamu paksa sobek halaman itu, bisa rumpang nanti bukunya. Sekarang kita buka bareng-bareng halaman baru untuk kamu bahagia ya,"lanjut Umma memegang kedua pundak anaknya.
"Hasna sayang Umma,"tutur Hasna berhamburan kedalam pelukan Umma.
Bang Hamzah dan Bang Hamdan yang sedari tadi menyaksikan diam-diam dari pintu berjalan mendekat dan ikut memeluk Hasna.
"Kita juga sayang sama Hasna,"tutur bang Hamzah mendekap hangat adiknya yang juga berada di pelukan Umma.
"Iqis mau ikut pelukan juga,"ujar Bilqis yang datang bersama Isa di depan pintu.
Sontak atensi orang yang sedang berpelukan langsung buyar dan tertuju pada bocah itu.
Hasna menghapus air matanya dan merentangkan tangannya lebar "sini."
Kedua bocah lucu itu langsung berlari berebut memeluk Hasna.
"Mas barang-barangnya sudah sampai,"ujar mbak Dila yang datang bersama kembarannya.
"Barang apa mbak?" Tanya Hasna menatap kedua kakak iparnya.
"Tempat tidur kamu dan ornamen-ornamen untuk mempermanis kamar kamu,"tutur mbak Dina dengan nada semangat.
"Yey. Aunty satu rumah sama kita," sorak Bilqis bertepuk tangan heboh.
Tingkah anak kecil itu membuat seisi kamar tertawa.
Umma tersenyum bahagia. Melihat putra-putrinya akur penuh cinta. Rasa bangga semerbak di dadanya berhasil mendidik anak-anaknya. Meskipun ia harus menjalani sisa hidupnya tanpa sosok pendamping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Nikah Muda
SpiritualCerita ini bukan tentang perjodohan. Bukan juga tentang nikah muda karena sebuah insiden. Tapi ini tentang cerita anak SMA yang berani mengutarakan cintanya dengan akad nikah di usia muda mereka. "Mau hidup bersama meraih jannah-Nya?" "Bismillah Has...