Suara klakson dan asap kendaraan memadati jalanan ibu kota. Kemacetan tidak dapat terhindarkan. Dengan kesal,Hizam mengambrukkan kepalanya ke stir mobil. Pikirannya sudah lelah seharian di kantor. Ingin rasanya cepat pulang mengisi perutnya yang sudah keroncongan.
Setelah memarkirkan mobilnya,Hizam membuka pintu rumahnya. Tanpa sambutan dari istrinya. Meskipun sedang saling diam, biasanya istrinya selalu menyempatkan untuk berdiri di depan pintu menunggunya pulang.
Dengan perasa campur aduk menggiring dirinya sampai di meja makan. Kosong,tak ia jumpai sepiring nasi di sana. Padahal ia sudah sangat lapar.
Dengan langkah kesal,ia berjalan menaiki tangga. Tanpa berniat ingin mencari istrinya. Sudah tak perlu lagi ia akan keberadaannya.
Gagang pintu ia putar dengan tegas. Dengan sempurna pintu terbuka menampilkan Hasna berbaring menekuk memeluk tubuhnya kesakitan. Seketika hatinya berdenyut nyeri, mendapati pemandangan seperti ini.
"Kamu sakit Na?" Tanyanya sembari memasuki ruangan.
"Ya Mas lihatnya Hasna kenapa?" Jawab Hasna dengan nada yang sangat tidak enak di dengar.
Hizam mengembuskan nafasnya kasar. Sekilas ia melihat tanggal di layar utama di handphonenya. Ia memilih ke kamar mandi untuk mendinginkan tubuh serta pikirannya.
Dengan rambut yang masih basah Hizam berdiri didepan kompor menunggu air yang ia rebus mendidih. Bisa saja ia mengambil air di dispenser namun ia sedikit meragukan suhu air itu.
Hizam menuang air mendidih itu kedalam botol dan langsung membawanya ke kamar.
Tanpa kata Hizam menyerahkan botol itu ke pada Hasna. Dengan rasa sakit yang menguasai perutnya Hasna mendudukkan dirinya mengambil botol itu dari tangan Hizam.
"Eh,bukan diminum Na,"ucap Hizam melihat bibir Hasna hendak menyentuh botol itu.
Hasna hanya memandang kesal ke arah suaminya. Ia merasa suaminya yang bersalah. Padahalkan sah-sah saja ia meminumnya. Karena ia pun juga merasakan haus.
"Buat perut kamu,"ujar Hizam duduk di sisi ranjang.
"Ngomong dari tadi dong,"sewot Hasna kembali merebahkan tubuhnya membelakangi Hizam.
"Ih, Hasna kan punya bantal penghangat. Masak lupa sih?" Ujarnya kesal, sekilas tadi ia melihat tangan Hizam memerah yang ia tebak terkena tumpahan air panas.
"Dimana?" Tanyanya, Hizam berusaha sabar.
"Tuh,"Hasna menunjuk letak benda itu disimpan tanpa menoleh ke pada suaminya.
Ingin sekali Hizam kembali bertanya letak benda itu yang masih belum ia jumpai,namun ia urungkan sebab itu akan memancing amarah bidadarinya. Ia harus sangat bersabar menghadapi hari-hari merah istrinya. Kini ia paham,mengapa akhir-akhir ini Hasna kesal kepadanya. Ternyata efek dari hormon estrogen.
Hizam naik ke ranjang menghampiri tubuh istrinya yang terbaring di sana. Dengan hati-hati tangannya meletakkan bantal itu di perut Hasna,"ih Hasna bisa sendiri."
Hasna memberontak berusaha menyingkirkan tangan Hizam dari perutnya. Namun percuma, Hizam malah semakin mengeratkan pelukannya pada perut Hasna. Perlahan tangan satunya mengelus kepala Hasna yang terbungkus kerudung bergo.
Rasa kesal mulai buyar, berganti rasa nyaman yang ia rasakan. Entah bagaimana, sepertinya hatinya kini ditumbuhi bunga-bunga yang sedang bermekaran. Perlahan senyumnya merekah. Namun tiba-tiba air matanya mengalir begitu saja di pipinya. Mengingat tangan Hizam yang memerah.
"Ayo ke rumah sakit sekarang aja Na," ujar Hizam yang mendengar Hasna terisak.
"Enggak mau ish,Hasna gapapa,"ucap Hasna tersedu-sedu memeluk tubuh suaminya yang panik hendak mengangkat tubuhnya.
"Maaf,maafin Hasna," tutur Hasna setelah mengelap ingusnya di lengan baju Hizam.
Hizam merebahkan dirinya di samping Hasna. Sembari membenarkan posisi pelukan mereka supaya Hasna nyaman didekapanya"Gapapa nangis aja biar lega."
Setelah beberapa menit. Hasna mendudukkan dirinya menghadap Hizam dengan menundukkan kepalanya,"Hasna minta maaf, Hasna udah jahatin mas,maaf Hasna diemin mas, tapi salah mas sih, NGESELIN?!"
"Iya, gapapa Na,"sahut Hizam bersandar pada headboard ranjang.
"Mas juga harus minta maaf dong," dengan sinis Hasna menatap suaminya.
"Mas minta maaf ya sayang," tutur Hizam mampu membuat Hasna melayang. Detik itu juga Hasna malu-malu ke dalam pelukan Hizam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Nikah Muda
SpiritualCerita ini bukan tentang perjodohan. Bukan juga tentang nikah muda karena sebuah insiden. Tapi ini tentang cerita anak SMA yang berani mengutarakan cintanya dengan akad nikah di usia muda mereka. "Mau hidup bersama meraih jannah-Nya?" "Bismillah Has...