"sus,boleh minta tolong antar Hasna ke kamar mandi?" Tanyanya setelah suster itu mengganti infus yang sudah habis.
Sekilas suster melirik Hizam yang selalu disamping Hasna. Ia menjadi saksi hidup bahwa se-setia itu Hizam menunggu Hasna. "Boleh, mari saya antar."
"Terima kasih sus," tutur Hasna yang sudah terduduk di bed. Mempersilahkan suster untuk keluar.
"Umma ke sini jam berapa mas?" Tanyanya perutnya meronta meminta diisi.
"Hari ini Umma enggak bisa ke sini Na,ada hal yang harus Umma urus,"tuturnya mengambil jatah sarapan Hasna yang tadi dibawa oleh suster.
"Mas suapin ya," lanjutnya hendak mengayunkan sendok.
"Hasna bisa sendiri mas,"sahutnya mengambil alih piring tersebut. Selain IGD dan bau obat ada satu lagi yang Hasna benci dari rumah sakit,yaitu lidahnya tidak cocok dengan masakan di sini.
"Ya sudah,mas duduk di sana ya," pamitnya mengelus singkat kepala bidadarinya. Yang sedang mengunyah sesuap sendok. Sungguh beberapa hari absen membuat pekerjaannya menumpuk.
Hizam duduk di sofa membuka laptopnya. Ruang VIP dengan beberapa fasilitas untuk kenyamanan istrinya agar betah.
Mendadak dering teleponnya berbunyi. Memberi kabar,sang klien meminta untuk di temui. Dengan segala pertimbangan akhirnya Hizam meng-iyakan.
"Na,mas ada meeting di kantor. Maaf ya mas tinggal sebentar,gapapa?" Tanyanya hati-hati. Jika perempuannya tidak mengiyakan ia rela kehilangan projek fantastisnya.
Hasna hanya menganggukkan kepalanya. Mencium tangan Hizam singkat dengan makanan yang di mulutnya yang berusaha ia telan.
"ENGGAK ENGGAK ENGGAK,"Teriak Annabela yang tidak terima saat ia sadar kakinya tidak bisa digerakan.
"THIS IS IMPOSSIBLE,"disusul dengan raungan ke-putus asa-an.
Jovan yang baru saja dari toilet langsung tergopoh-gopoh menghampiri Annabela.
Sudah beberapa hari ia di sini. Menemani Annabela yang sendirian. Bagaimana pun Annabela pernah mengisi hatinya. Ya walaupun berakhir luka.
Ditambah lagi keluarga Annabela sudah tidak memperdulikan. Ibunya yang sedang gila dan ayahnya menghilang entah kemana.
Jovan yang hendak masuk ke dalam ruangan sudah di dahului kedua suster. Ia hanya bisa melihat dari luar kaca ruangan.
Melihat suster yang kewalahan menenangkan Annabela. Ia harus turun tangan. Kalau tidak teriakan Annabela bisa merubuhkan gedung ini.
"Jangan sus," cegah Jovan ketika suster itu hendak menyuntikkan cairan bius lewat infus.
"Tapi pasien bi_"
"Beri saya waktu dan ruang untuk menenangkannya,"pinta Jovan memotong ucapan suster.
"10 menit, please dok,"lanjutnya berusaha meyakinkan.
"Silahkan, kami permisi dulu," ujarnya memberi ruang.
"Bel,Bela,"Jovan berdesis berusahan menyentuh pundak Annabela. Ia berusaha meredakan tangisan pilu itu.
"K-kenapa Van?KENAPA HARUS GUE LAGI YANG MENDERITA?" Teriaknya. Menyibak tangan Jovan yang hendak menyentuh pundaknya.
"PUAS LO LIHAT GUE GINI HA?" Menarik-narik Hoodie yang sedang melekat di tubuh Jovan.
Jovan sama sekali tidak melawan. Ia membiarkan Annabela melakukan sesuka hatinya.
"INI KAN YANG LO MAU?"
"PUAS? HA?"
"PUAS VAN?" Ia mengentikan tangannya yang menarik narik Hoodie Jovan. Berganti untuk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Maaf," hanya itu yang bisa Jovan ucapkan.
"KENAPA VAN?"
"KENAPA DUNIA SEOLAH TIDAK MENGIZINKAN GUE BAHAGIA?"
"KENAPA VAN?"
"SESULIT ITU UNTUK GUE BAHAGIA VAN"
"KENAPA"
"BAHKAN SEMUA ORANG UDAH BENCI GUE"
"SALAH GUE APA VAN?"
"DENGER BEL," teriak Jovan. Berhasil merebut atensi perempuan itu.
"Dengerin gue,"ucap Jovan menekankan suaranya.
"Dunia bukan melarang Lo bahagia,"
"Tapi cara Lo bahagia yang salah Bel," lanjutnya mendudukkan diri di samping Annabela.
"Dunia nggak sekejam yang Lo pikirkan,"
"Nyatanya dunia masih kasih Lo satu orang,"
"Yang siap ada buat Lo,"lanjutnya. Menyeka air mata Annabela yang terus bercucuran menggunakan lengan Hoodie-nya.
"S-siapa?" Tanyanya dengan sisa suara yang ia punya.
"Gue," jawab Jovan menatap lekat netra coklat Annabela.
"Gue pernah ngehianati Lo Van. Lo masih mau nerima gue lagi?" Tanyanya lirih nyaris tidak terdengar.
"Gue pernah buat Lo hancur Van,"
"Gue pernah rusak persahabatan Lo,"
"Gue sebrengsek itu Van," lanjutnya. Berusaha menyebutkan satu persatu kesalahan yang dulu pernah ia lakukan.
Menyesal?tentu jelas. Menyia-nyiakan sosok pria yang selalu ada baginya. Adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan.
"Lo masih bisa perbaiki semua ini," jawabnya seolah berusaha menyakinkan hujan badai pasti akan terang di saat kabut hitam bergulung-gulung datang.
"Lo masih percaya sama gue Van?"tanyanya.
"Iya,"
"Gue mau. Kita mulai lagi dari awal,"
"Bahkan gue siap nikahin Lo sekarang juga," lanjutnya.
"S-serius? Lo mau nikah sama orang lumpuh kaya gue?" Tanyanya.
"Gue siap jadi kaki Lo. Gue siap antar Lo kemana pun dan gue siap antar Lo ke kebahagian yang sebenarnya,"
"Ayo antar gue ke sana Van,"pintanya tidak sabaran.
"Lo harus sembuh dulu ya. Nanti kita buat rute ke sana,"
"Lo jadi pilotnya?"
"Iya. Gue pilotnya dan Lo satu-satunya penumpang pesawat gue,"
"Gue akan bawa Lo terbang. Kalau Lo udah gue genggam,enggak akan gue lepas Bel. Karena gue enggak mau Lo melayang-layang liar dan jatuh lagi ke tanah. Gue pastiin, kita berdua benar-benar sampai pada bahagia yang enggak akan bikin air mata sedih Lo jatuh lagi,"
"Di sana Bel,di jannah-Nya," lanjutnya.
"Jani ya Van? Kita terbang. Thanks buat kesempatan kedua ini. Gue janji,gue akan lebih baik," tuturnya berusaha mendekap tubuh Jovan namun Jovan hanya tersenyum mengusap bahunya yang terbungkus baju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Nikah Muda
SpiritualCerita ini bukan tentang perjodohan. Bukan juga tentang nikah muda karena sebuah insiden. Tapi ini tentang cerita anak SMA yang berani mengutarakan cintanya dengan akad nikah di usia muda mereka. "Mau hidup bersama meraih jannah-Nya?" "Bismillah Has...